PROLOG

11.4K 517 7
                                    

HALO, Mattles!
Udah lama banget nggak nyapa kalian. Hehe. Ini aku, balik lagi setelah hibernasi lama, dengan cerita yang fresh.

Ini cerita baru, bisa dibilang spin-off Pilihan Terakhir dan Ambun (Love in Our Hearts, bisa dibaca di cabaca). Cerita ini untuk dewasa 18 tahun ke atas, ya. Aku peringatin dari awal. Bukan hanya karena konfliknya, tapi juga beberapa, atau mungkin banyak, adegan yang memang diperuntukkan dewasa. Di bagian deskripsi juga sudah ada tag dewasa. Jadi...

... selamat membaca!

-----------------------------------------------------------

PROLOG

EKA PRATAMA tiba di depan Sanggar Embun tepat pukul sepuluh pagi. Dia merapikan jas dan bersiap untuk turun dari mobil. Pesan-pesan singkat dari Ambun, keponakan yang sudah berusia dua puluh dua tahun, sudah membanjiri WhatsApp-nya. Menanyakan pukul berapa dan dengan siapa akan datang. Sebab, semalam Tama memperkirakan akan datang pukul sembilan, dan ini telat dari perkiraan tersebut.

'Om udah di depan, kok.' Dia membalas pesan itu dengan ketikan cepat. Setelah memastikan jas dan tampilannya tidak terlalu jelas seperti orang lelah, karena jujur saja dia memang sangat lelah setelah penerbangan dari Singapura dan Malaysia kemarin dan langsung mampir ke kantor, lalu hari ini mampir ke sanggar, dia pun turun dari mobil. Tulisan 'OPEN' di balik pintu kaca sanggar membuat bibirnya mengulas senyum tipis. Dia selalu senang karena keponakannya itu berhasil mewujudkan keinginannya untuk mendirikan sanggar.

Suara obrolan bercampur samar-samar suara musik—dari ruangan dengan pintu tertutup di ujung sana—menyambut Tama begitu pintu kaca digeser ke samping. Dia menutup kembali pintu itu dan melangkah menuju lantai dua seperti isi pesan Ambun. Dia membalas senyum dan sapaan beberapa anggota sanggar yang dilewati. Begitu tiba di depan ruangan Ambun, dia mengetuk dan membukanya dengan pelan.

"Om Tama!" pekik Ambun, langsung mendekati pamannya dan memeluk lelaki itu dengan erat. "Mau minum dulu, Om? Atau langsung lihat anggota latihan?"

"Jakarta makin panas, ya. Om udah minum sebelum turun dari mobil, kok. Kita langsung lihat anggota kamu yang lagi latihan aja. Om udah penasaran banget, gimana, sih, kegiatan sanggar itu." Tama berkata dengan nada menggoda, membuat keponakannya tersenyum malu.

Lantai satu sanggar terdiri atas dua sekat ruang latihan yang ukurannya lumayan luas—memanjang. Ambun membawa Tama ke depan pintu bertuliskan RUANG 1. Begitu pintu dibuka, suara musik yang tadinya hanya sama-samar terdengar menggelegar. Mungkin dikarenakan sekat ruangan yang hanya dibatasi tembok tipis, jadi kedap suaranya tidak terlalu berfungsi. Masih menyisakan suara samar hingga keluar.

Tama diam, memperhatikan tiga orang perempuan yang sedang menari di depan cermin besar-panjang di depan sana. Lekukan tubuh perempuan yang berdiri di paling depan lumayan menggoda. Tingginya pas dengan tonjolan-tonjolan mencolok di balik lapisan ketat kaus dan legging luaran levis sepaha. Rambut—yang mungkin jika digerai akan sepanjang ketiak—diikat menyerupai ekor kuda. Kulitnya sedikit lebih kecokelatan dibandingkan Ambun yang kuning langsat. Tapi, manis.

"Nah, yang di depan itu, sahabat Ambun, Om. Namanya Septi."

Tama mengangguk mendengar penjelasan keponakannya. Dia kemudian memperhatikan anggota sanggar yang hanya duduk sambil mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama musik, dengan mata menatap tiga orang di depan, beberapa menyalakan kamera untuk merekam atau mungkin akan mempromosikan ke sosial media. Saat kembali menatap ke pantulan di cermin, mata Tama bertemu dengan mata Septi. Membuat gerakan lincah perempuan itu seketika terhenti.

Di depan sana, kedua mata Septi menyipit melihat sosok di depan pintu. Lelaki yang dia kisar mungkin awal atau pertengahan tiga puluhan. Memakai jas rapi dan terlihat begitu serius—kaku. Dia berbalik, menatap Ambun yang melambai agar dirinya mendekat. Dengan detak jantung yang seolah berlomba dengan denyut nadi, perempuan muda itu mendekat, menatap segan lelaki yang sebelumnya diberi tahu Ambun adalah pamannya—yang akan berkunjung. Begitu sudah berjarak sekitar satu lengan, mata mereka kembali bertemu, saat itulah Septi yakin bahwa dia ... jatuh cinta pandangan pertama.

***

Baru prolog.

Dan, tenang! Aku usahain cepat update karena cerita ini udah komplet aku tulis di draft. :)

Seperti biasa, kalau ada typo(s) silakan langsung dikomen. :)

LOST INSIDE YOUR LOVE (✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang