Gemercik hujan akhir Desember membuat sebagian orang memilih berdiam diri di atas empuknya kasur dengan ditemani secangkir cokelat hangat yang terseduh harum dalam gelas keramik berwarna biru. Musim penghujan yang belum berakhir membuat langit menurunkan air di sore hari tanggal dua puluh satu Desember tahun ini.
Kuteguk cokelat yang masih hangat dengan kaki yang kusentuhkan pada hangatnya karpet bulu yang tergelar rapi pada dinginya lantai kamar.
Sebuah jaket jean's yang selalu tergantung dibelakang pintu kamar menarikku mendekat.
Jaket dengan harum yang tak pernah hilang karena memang tak pernah kucuci setelah kejadian sore itu membuatku sedikit terbawa suasana hujan. Ah ya, mungkin memang sebagian manusia akan selalu menyesali kepergian. Entah sebuah kebodohan yang mungkin berbonus keteledoran membuatku kembali menyesali sebuah pertemuan tak sengaja yang hingga kini selalu kusesali.Sebuah surat dan tiket kereta kukeluarkan dari saku jaket, tiket kereta yang menjadi alasanku membenci tukang pos dan hujan. Padahal sebenarnya, mereka hanya kujadikan alasan supaya aku tak semakin membenci jaket Jean's itu.
Pagi itu, di tanggal tiga Febuari, seorang tukang pos dengan sepatu dan helm hitam datang mengantar 'amplop' yang tadinya kupikir adalah sebuah undangan purna tugas guru Sekolah Menengah Pertamaku. Hari itu, tanganku sendiri yang menerima dengan sebuah senyum manis yang sengaja kuperlihatkan pada muka ramah pak pos. Tapi hari itu juga, tangaku sendiri yang dengan cerobohnya meletakkan amplop itu di atas meja ruang tamu.
Disinilah awal mula aku membenci hujan, entah hanya aku atau ada manusia yang sama sepertiku, tapi inilah kenyataan yang benar-benar menyedihkan.
Tepat setelah kutekan tanda titik pada keyboard laptop, hujan mulai turun mengguyur bumi pertiwi. Aku dengan sigap berlari mengangkat beberapa jemuran dan pantofel hitam yang tadinya kujemur dengan harapan mendapat sedikit sinar matahari.
Entah juga kebetulan atau memang diriku sendiri yang menginginkan, tanganku bergerak mengambil amplop cokelat yang pagi itu sempat kutaruh di atas meja. Lalu dengan pelan, kukeluarkan kertas yang ternyata adalah sebuah tiket kereta menuju Bandung.
Waktu itu, jam menunjukkan pukul dua siang, sedangkan yang tertulis dalam tiket, adalah keberangkatan kereta pukul setengah empat sore.
Aku dengan cepat langsung berlari menuju kamar guna mengganti setelanku dengan celana levis, kemeja biru, kerudung hitam, dan tak lupa sepatu converse biru lusuh yang kegunakan sebagai alas kaki. Sebuah taksi menuju ke arahku. Ya, dengan keadaan yang masih hujan aku berlari ke depan gerbang rumah yang berhadapan langsung dengan jalan raya.
Dengan pakaian yang sedikit basah, aku memasuki taksi lalu ku katakan tujuanku pada pak sopir, dengan harapan semoga waktu berjalan sedikit lambat, aku menatap jalanan yang masih terguyur hujan. Tapi dengan sialnya, waktu tetap berjalan begitu cepat.
Tepat pukul tiga lewat tiga puluh enam menit, taksi yang kutumpangi mendarat di Stasiun Purwakarta, tujuan yang kusebutkan. Aku langsung berlari memasuki Stasiun dengan baju yang semakin basah, sepatu yang menemani langkahku juga semakin bertambah lusuh waktu itu.
Ada banyak orang berlalu-lalang dengan membawa koper dan tas besar khas pulang kampung. Mataku dengan teliti mencoba mencari laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh tiga centimeter dengan rambut ikal yang selalu menjadi ciri utamanya.
Dengan langkah semangat, kutanyakan keberangkatan kereta yang namanya tertulis pada tiket yang sedari tadi masih kupegang. Banyak pasang mata bertemu dengan mataku yang sedang mati-matian menahan tangis yang rasanya ingin sekali kukeluarkan.
Bahuku melemah dan dengan itu kutundukkan kepala guna menatap sepatu converse yang sudah teramat lusuh. Aku mencoba menarik dan membuang nafas berkali-kali guna menenangkan jantung yang kala itu berdetak dengan sangat cepat.
Aku masih menunduk, hingga sebuah sepatu converse biru bersih dengan ukuran yang lebih besar dari sepatuku berhenti tepat dimana kakiku berada. Dengan ragu, kuangkat kepala dan mataku menemukan mata seorang laki-laki yang menatapku sendu.
Sekitar tiga puluh detik mata kami masih bertatapan, hingga sebuah jaket jean's mulai menyelimuti tubuh menggigilku, dengan disusul pelukan erat, kukaitkan tanganku dengan bahu kokoh yang mungkin saat itu sedang mencoba memberi ketenangan dan kehangatan kepadaku.
Kuresapi setiap detak jantung yang dapat kurasakan dari balik pelukan laki-laki itu. Kurampalkan doa semoga ini bukanlah pertemuan terakhirku dengannya. Ia tak mengucap sepatah katapun kala itu, tetapi lewat peluknya, aku bisa merasakan jika hatinya sedang berbicara langsung dengan hatiku, bahwa kepalanya sedang berpikir keras untuk mengucapkan kata terakhir yang mungkin akan keluar dari mulutnya.
Hingga suara petugas stasiun membuat peluknya mengendur, lalu ia menatap kembali mataku, ia juga memberi dahiku kecupan yang terasa sangat dalam. Dan dengan tanpa suara, langkah kakinya mulai menjauh. Ya, menjauh. Menerobos pagar pembatas dan langsung memasuki salah satu gerbong kereta.
Punggungnya benar-benar tak lagi terlihat, karena terhalang kerumunan penumpang, mataku tak lagi bisa melihatnya. Hingga kereta kembali melaju, aku masih saja terdiam bersama jaket jean's yang memeluk bahuku. Bersama sebuah surat yang menjadi akhir dari pertemuanku denganya, surat yang menjadi akhir dari kisah yang sebenarnya belum sempat kami mulai.
Setetes air mata mulai membasahi pipiku, kuusap pelan sambil kembali kupeluk jaket jean's yang wanginya masih selalu sama. Ah, rasanya jahat sekali. Dia membuat jaket tak berdosa ini harus tergantung dibalik pintu kamarku, dia juga meninggalkan jaket yang hingga kini masih menunggu pemilik yang tadinya kupikir adalah stasiun terakhir.
Rambut ikal,
Jaket Jean's-mu,
Dan Stasiun Purwakarta.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Lampau
Short StoryBanyak kisah yang tidak sempurna dan banyak kesempurnaan yang tidak dapat dikisahkan. Pada Simpang Lampau ini, akan kuketikkan beberapa kisah yang tokohnya tidak pernah sanggup menyelesaikan, yang tokohnya harus pergi melaju bersama cepatnya kereta...