Pada dasarnya, konsep jatuh cinta sendirian itu apa-apa memang sendiri. Menikmati senyumnya sendiri, menikmati tatapan tidak sengaja sendiri, dan yang paling utama adalah merasakan rasa sakitnya juga sendiri.
Jatuh cinta sendirian adalah kebimbangan antara dua pilihan, berhenti atau tetap bertahan dalam ketidakpastian. Banyak manusia lebih memilih bertahan, tanpa memperdulikan hasil tabu yang menyembunyikan jawaban. Memang, berhenti tidak dapat melulu menjanjikan kebahagiaan, tetapi setidaknya dengan berhenti akan meminimalisir sebuah kesakitan.
Dan ya... Hari ini aku masih memilih bertahan, di tengah sorak dukungan penonton pertandingan futsal antar daerah yang pemainnya adalah tim utama sekolahku dengan tim dari sekolah lain.
Aku duduk di kursi penonton paling atas, sengaja. Agar keberadaanku tak terlalu diperhatikan, agar aku bisa keluar gor dengan mudah, dan agar mataku tak terlalu ketara karena hanya kufokuskan pada satu titik. Ya, satu titik. Mataku hanya kufokuskan pada laki-laki jangkung, beralis tebal, dan bernomor punggung 10.
Jika boleh kudefinisikan, dia memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima centimeter, dengan berat badan lima puluh satu kilogram, dan ukuran sepatunya adalah empat puluh dua. Dia lebih tua dariku dua bulan, karena ia lahir pada 22 Maret sedangkan aku pada 6 Mei.
Sorakan penonton semakin menggelegar, skor 3 - 2 yang masih dipimpin oleh sekolahku ini membuat kami semakin bersemangat. Ya, para pemain yang semakin menguatkan strategi, para penonton yang semakin meneriaki banyak dukungan, dan aku yang semakin mengagumi dirinya.
Hari ini, otakku benar-benar tak dapat dikendalikan. Bagian-bagian lama yang harusnya kulupakan kini kembali terbuka beriringan dengan rambutnya yang sudah basah terkena keringat.
Jika dihitung, aku sudah menganguminya selama dua puluh tiga bulan, yang artinya satu bulan lagi adalah tahun kedua perasaan aneh ini ada. Selama itu pula aku sudah terjebak dalam rasa kagum yang awalnya kukira akan berlalu seperti yang sebelumnya.
Wasit meniup peluit, kini waktunya bagi para pemain istirahat dan kembali mengatur strategi. Kulihat dirinya melangkah mendekat Pak Wija, yang menjabat sebagai guru olahraga sekaligus pelatih futsal di sekolahku. Dia membisikan sesuatu pada Pak Wija yang kemudian kulihat mereka tertawa.
Ah rasanya saat ini aku benar-benar mabuk, deretan giginya yang sedikit tidak rapi membuatku tersenyum. Laki-laki itu mempunyai sejuta pesona yang berhasil membuatku terlena.
Dulu, saat awal aku mengenalnya. Kukira ia akan sama dengan manusia lain yang selalu berbicara dengan suara, tetapi tidak, karena ia lebih sering berbicara menggunakan mata.
Ada banyak pertanyaan yang selalu hinggap di kepalaku. Seperti;
Mengapa aku bisa mengaguminya?
Itu adalah pertanyaan pertama yang selalu melahirkan pertanyaan baru. Lalu,
Mengapa harus dia?
Yang merupakan pertanyaan kedua yang semakin membuat otakku kembali bertanya,
Mengapa aku bisa bertahan tanpa balasan hingga sekarang?
Itu adalah pertanyaan terakhir yang selalu menjadi patokan atas semua kebingungan. Bagaimana tidak bingung? Aku selalu harus mencari ketenangan untuk diriku sendiri, aku juga harus selalu mencari jawaban yang dikeluarkan oleh otakku sendiri.
Huh,
Rasanya sekarang aku ingin sekali berendam di Samudra Antartika, diantara paus biru yang panjang dan ramping dengan dorsal berwarna abu-abu kebiruan dan ventral yang lebih terang. Aku kembali menarik nafasku, lalu tersadar kalau sebenarnya aku tidak bisa berenang.
Ini pausnya,
dan ini aku yang sadar kalau sebenarnya nggak bisa berenang.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Lampau
Short StoryBanyak kisah yang tidak sempurna dan banyak kesempurnaan yang tidak dapat dikisahkan. Pada Simpang Lampau ini, akan kuketikkan beberapa kisah yang tokohnya tidak pernah sanggup menyelesaikan, yang tokohnya harus pergi melaju bersama cepatnya kereta...