Pertandingan masih kurang beberapa menit, kupandangi dia yang sedang menggiring bola. Rambutnya sudah semakin basah terkena keringat, sedangkan kakinya dengan sigap mengoper bola ke teman satu timnya.
Ah ya, kembali lagi pada pembahasan di bagian satu, jawaban yang selalu kugunakan dari ketiga pertanyaan otakku yang selalu sama itu adalah... Karena ia sangat pantas dikagumi, karena aku tidak bisa memilih akan pada siapa hatiku jatuh, dan yang terakhir, karena jatuh cinta tak melulu perkara balasan, bahkan dalam sebuah artikel kubaca, cinta adalah perasaan tanpa pamrih yang tidak harus mendapat imbalan.
Namun rupanya, otakku adalah tipe bagian tubuh yang sangat susah untuk menyerah, sampai terkadang otakku ini mendesakku untuk mengungkapkan. Mungkin banyak juga orang yang seperti itu, karena memang confess bukan berarti menembak, dan masih sama, aku memilih diam.
Ya, diam bersama perasaan aneh yang jika bisa dipelihara mungkin sudah dapat kupanen hasilnya.
"GOLLLL!"
Teriakan penonton dan tiupan peluit wasit terdengar, disusul yel-yel kebanggaan sekolahku menyambut kemenangan. Ya, hari ini sekolahku memenangkan pertandingan, yang artinya kami ditunggu untuk maju ke babak selanjutnya.
Tapi, tidak denganku. Karena setelah ini, aku akan mencoba berhenti mempertahankan perasaanku, karena bagaimanapun lelah itu ada, dan bagaimanapun, mempertahankan sesuatu yang tabu itu selalu membuat ragu.
Kulihat ia dan kawan-kawannya bersujud, mengucapkan banyak kata syukur kepada Tuhan. Lalu ia berjalan ke arah kursi penonton, dan memeluk seorang perempuan berjaket biru yang menjabat sebagai kekasihnya.
Ah, rasanya patah hati sebelum mengungkapkan itu memang sakit. Tapi bagaimana lagi, dia tidak memilihku.
Aku berdiri, membenarkan posisi tas ransel hitamku. Kulangkahkan kaki menyusuri banyak kursi, aku mau pulang, mengikhlaskan perasaanku di kursi penonton paling belakang.
"Del."
Suara bariton membuatku memutar tubuh ke belakang dan menemukan laki-laki kuning langsat yang menyodorkan sebuah kunci motor.
"Jatuh," ucapnya, "Kamu nggak akan bisa pulang tanpa ini." Lanjutnya.
Aku mengambil kunci motor itu, kemudian mengucapkan terimakasih dan kulangkahkan kakiku keluar.
Sambil berjalan, kupandangi kunci motorku dengan seksama. Laki-laki tadi benar, kunci ini yang akan membawaku pulang bukan rasa kehilangan. Karena memilikinya saja tidak, bagaimana aku bisa kehilangannya. Kehilangan pemain tim utama bernomor punggung 10. Ah, yang benar saja.
Jingga senja sudah meredup ketika aku sampai di area parkir, siluetnya lah yang akan menemani perjalananku pulang.
Dan, yah. Lagi-lagi kisah ini tidak dapat disempurnakan, karena tokohnya harus tenggelam dalam pelukan seorang perempuan berjaket biru yang rambutnya tergerai, karena tokohnya harus tenggelam diantara lautan kebahagiaan.
Kunyalakan mesin motor, lalu ku lajukan motorku keluar area GOR Diponegoro. Kujauhkan motorku dari kursi paling belakang yang sudah kutitipkan rasa keikhlasan.
Sekian.
Sampai jumpa di lembar selanjutnya.Karena keikhlasan adalah bagian dari pendewasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpang Lampau
Short StoryBanyak kisah yang tidak sempurna dan banyak kesempurnaan yang tidak dapat dikisahkan. Pada Simpang Lampau ini, akan kuketikkan beberapa kisah yang tokohnya tidak pernah sanggup menyelesaikan, yang tokohnya harus pergi melaju bersama cepatnya kereta...