💫5💫

1.8K 364 87
                                    


"Mas Iki ngisin-ngisini (Mas ini malu-maluin) kalo sidang garangnya bukan main eh kalo ada Mbak Redanti manjanya Masya Allah."

Neta bolak-balik mukul bahu Abdi yang masih terlihat memelas. Abdi hanya menatap Neta dengan mata setengah mengantuk.

"Kamu itu rameeee aja, aku itu pingsan beneran laper, sedih dan putus asa, udah ah udah malem banget ini, aku kuat-kuatin besok ngantor, tambah gak karu-karuan kantor aku tinggal sama kamu." Abdi meraih gulingnya dan tidur menyamping.

"Pulang sana Net, aku mau mimpi dipeluk Caca tercinta, lega rasanya makan disuapi Caca tadi, itu dokter meski cantik aku nggak tertarik, kebanyakan makan cacing paling." Neta kembali tertawa dan memukul bahu kekar Abdi lagi, Abdi menoleh dengan kesal.

"Kamu itu kerasukan ya? Main pukul aja." Sambil tertawa Neta bertanya.

"Kenapa kok kayak makan cacing itu dokter?"

"Liat aja jalannya, kayak lemah gemulai gitu, ck dibuat-buat, udah ah aku mau tidur, masih lemes tapi juga mulai tegang."

"Ih apanya yang tegang, pulang ah ngeri."

Neta segera meraih tasnya dan bergegas menuju pintu kamar Abdi. Terdengar tawa pelan Abdi.

"Ngebayangin Caca jadi nganu."

Tawa Neta pecah saat sampai diluar pintu. Ia geleng-geleng kepala, tak mengerti jalan pikiran sepupunya yang otaknya tak pernah lurus. Neta membuka lagi sedikit dan berteriak.

"SEMANGAT WOOOI SAINGANMU MULAI BERAKSI, TADI NGAJAK MBAK RE MAKAN BERDUA DI CAFE"

Alangkah kagetnya Abdi dan ia berbalik ke arah pintu.

"Neeeet, Netaaaa kembaliiii, woooi siapa laki-laki ituuuuu, semprol kamu kalo dah mau pulang baru cerita, duh alamat gak bisa tidur ini."

.
.
.

Pagi hari Redanti kaget saat baru sampai di ruangannya sudah melihat buket bunga cantik di mejanya, ia meraih kartu ucapan dan tahu siapa yang mengirim. Redanti mendesah resah, ia tak ingin Lanang berharap banyak padanya. Cintanya yang masih besar pada Abdi tapi di sisi lain ia sudah tak ingin berumah tangga lagi.

Ia bukan wanita bodoh yang tak tau arti tatapan Lanang padanya, tapi bersikap terlalu dingin juga tak bisa serta Merta ia tunjukkan. Lanang laki-laki baik, hanya pertemanan yang bisa ia ulurkan pada laki-laki sabar itu.

Redanti membuka pintu ruangannya muncul wajah Silvi diikuti oleh Abdi di belakangnya. Wajah Abdi masih tampak pucat tapi untuk apa laki-laki ini tiba-tiba muncul di hadapannya sepagi ini.

"Ini Ibu ada Pak Abdi."

Suara Silvi membangunkan Redanti dari lamunan tentang apa tujuan Abdi sepagi ini sudah ada di kantornya.

"Iya, eh ini Silvi tolong Carikan vas bunga ya letakkan di ruang lobby saja biar seger, diatur gimana biar bagus." Redanti menyerahkan buket bunga mawar putih yang indah dan besar itu pada Silvi.

"Iya Ibu, silakan Pak Abdi masuk aja."

Silvi segera berlalu sedang Abdi langsung masuk tanpa menunggu disilakan oleh Redanti.

"Mas ini masih kelihatan kalo sakit ngapain ke sini, tuh wajah masih pucat, jangan kayak anak kecil, ikuti saran dokter ini untuk kebaikan Mas, kata Bi Sum bu dok yang cantik itu sudah menyarankan Mas untuk istirahat, atur jam makan agar teratur." Redanti melihat wajah pucat itu perlahan mulai tersenyum namun seketika senyum itu hilang lagi.

"Bunga itu dari siapa?" Pertanyaan Abdi mengejutkan bagi Redanti dan ia cukup bingung, dijawab jujur Abdi pasti tak suka, tidak jujur Redanti yang tidak suka dan pasti Abdi juga sudah mengira bunga itu dari siapa.

"Mas berharap bunga itu dari siapa?"

"Aku bertanya, kenapa kamu balik bertanya, kan gak papa aku cuman tanya, bukan cemburu, akan lebih baik kamu hati-hati sama laki-laki yang tujuannya gak jelas dekatin kamu." Suara Abdi mulai terdengar datar, dia yang biasanya suka bergurau jadi terdengar tak enak di telinga Redanti.

"Maaf, bukannya aku gak suka diperhatikan, makasih Mas sudah ngingatkan aku, tapi percayalah yang kasi bunga ini laki-laki yang bahkan sejak awal kenal gak pernah bikin aku sakit, aku sudah lebih dari dewasa, aku tahu dan yakin laki-laki ini menyukaiku sejak lama, tapi dia nggak ngambil keuntungan saat kita baru berpisah, dia tetap menjaga jarak, setelah sekian tahun berlalu dia baru mendekati aku lagi dan aku pikir tak masalah toh aku sendiri dan dia juga sendiri, kami hanya beda status, dia belum pernah menikah sedang aku janda, anehnya dia tak masalah dengan statusku."

"Jadi kau memang memberi kesempatan padanya untuk mendekati kamu saat ini?" Abdi berusaha menyiapkan diri agar jika Redanti mengatakan ia, dirinya tidak merasakan sakit.

"Aku tak bisa menjawab, Mas."

"Buktinya kamu mau diajak makan berdua, lalu itu buket pasti dari dia, lalu apa lagi? Kan artinya kamu ngasi harapan ke dia?" Suara Abdi mulai terdengar gusar. Redanti sudah mengira pasti Neta akan bercerita pada Abdi jika dia dengan Lanang makan berdua di cafe.

"Apa semua itu jadi masalah bagi Mas? Toh kita sudah selesai, kita tak ada urusan lagi? Aku mau jalan atau dekat dengan siapapun, aku yakin gak masalah kan bagi Mas? Dulu Mas dengan mudah gak percaya sama aku, kalo aku memang ada apa-apa sama Lanang pasti kami sudah menikah, bukan baru mulai sekarang pendekatannya." jawaban Redanti menohok ulu hati Abdi. Abdi menunduk dan mengembuskan napas dengan berat.

"Jadi kalian baru memulainya sekarang?"

"Harus aku jawab pertanyaan ini?"

"Ya kamu harus menjawab!"

Beberapa detik Redanti diam, ia menatap mata kelam Abdi yang juga balik menatapnya. Lalu Redanti melihat Abdi berdiri.

"Baiklah aku pamit undur diri jika kau tak mau menjawab." Abdi melangkah ke pintu dan membuka pintu ruang kerja Redanti sekali lagi menoleh lalu keluar. Sebelum pintu benar-benar tertutup Redanti mengejar Abdi.

"Maaas, Mas ada perlu apa ke sini?"

"Mau makan." Dan Abdi melangkah cepat menjauh dari tatapan Redanti.

"Maaas Maaaas kembali, kita makaaan."

Silvi setengah berlari menuju Abdi dan napasnya hampir putus saat berada di ruang lobby.

"Paaak haduh Bapak dipanggil Ibu." Napas Silvi masih menderu.

"Nggak, bilang aja sama bos kamu, aku nggak mau." Abdi berlalu dari hadapan Silvi, meski hatinya sakit tapi senyum mulai mengembang di bibir Abdi setidaknya ia bisa membuat Redanti penasaran dan berharap Redanti menyusulnya ke kantor dengan membawa makanan.

.
.
.

Abdi mengempaskan badannya ke kursi di ruang kerjanya. Kepala dan perutnya berdenyut nyeri. Neta tergopoh-gopoh menemui Abdi.

"Gimana Mas? Berhasil to sarapan bareng tadi?" Senyum lebar mengembang di bibir Neta.

"Sarapan gundulmu." Terdengar suara kesal Abdi.

"Lah sarapan gundulku ya kenyang to kepalaku kan besar."

"Gak usah ngelawak, gatooot, gatoooot, gagal totaaal ah gara-gara bunga dari laki-laki sok ganteng itu, rencanaku jadi berantakan, kesal aku, sana Net carikan aku makanan yang enak, aku nggak mau tahu." Abdi memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang mulai ia rasakan.

"Laaah kok aku yang salah sih, Mas aja yang salah strategi, kalah cepat dari mas ganteng itu, iya dah aku carikan makan, mau makan apa?"

"Jangan nasi ya berat ke perut, cemilan aja, di toko roti sebelah ini aja Net."

"Oooo iya ada, bomboloninya lembuuut banget Mas, itu aja ya." Neta melihat Abdi mengangguk sambil memejamkan matanya.

"Yang rasa apa Mas?"

"Rasa yang tak kan hilang dari hatiku." Dan tawa Neta memenuhi ruangan Abdi.

💫💫💫

14 Oktober 2020 (05.24)

Duda Gagal Move-on (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang