💫7💫

1.8K 335 249
                                    


"Mohon maaf Mas Lanang, aku baru sampai dan kok ya kebetulan di jalan tadi pas rame." Redanti menyalami Lanang dan calon mempelai. Lanang hanya tersenyum.

"Dik Kinan silakan kalo mu fitting lagi sudah aku kecilkan kok, kalo ada yang nggak pas tinggal bilang sama asistenku ya," ujar Redanti pada adik Lanang lalu memanggil asistennya yang kemudian membawa adik Lanang untuk melakukan fitting baju lagi pasca sembuh dari sakitnya.

"Dari kantor atau rumah Pak Abdi?" Pertanyaan Lanang mengagetkan Redanti karena Redanti berpikir, Lanang tak akan memperpanjang keterlambatannya.

"Dari kantor lah, jika ke rumahnya aku tak akan berani sendiri, kami sudah berpisah jadi rasanya tak enak jika kami berdua di rumah besar itu."

Jawaban Redanti membuat Lanang kembali tersenyum. Ia melihat jika Redanti enggan ditanya lebih jauh.

"Aku hanya kasihan karena dia punya penyakit maag akut, penyakitnya kambuh, aku yang pernah hidup serumah dengannya jadi tahu bagaimana tersiksanya dia saat penyakit itu kambuh, dia hidup sendiri, ada sih pembantu tapi kadang tak tau apa yang diinginkan Mas Abdi, dia kan agak rewel."

Terdengar tawa pelan Lanang. Ia tidak merasa meminta penjelasan pada Redanti, mungkin rasa tidak enak membuat Lanang menunggu hingga Redanti merasa perlu memberinya alasan mengapa ia terlambat, apa lagi mengingat Abdi yang menjawab telepon dari Lanang.

"Nggak papa kok Re, aku nggak meminta kamu harus menjelaskan, cuman kaget aja tadi pas yang jwab telepon kok Pak Abdi."

"Aku sedang makan." Jawaban singkat Redanti membuat Lanang mengangguk, meski Lanang tak mengerti mengapa hatinya tiba-tiba sakit.

"Aku hanya yakin bahwa Pak Abdi masih menyimpan rasa padamu, ia kayaknya ingin balikan sama kamu."

"Aku belum berpikir ke sana, aku masih nyaman sendiri, dan menikmati kesendirian dengan banyak berkarya." Redanti melihat mata Lanang yang kecewa.

"Artinya saat ini kau tak akan membuka hatimu pada siapapun?"

"Ya, aku masih ingin sendiri."

Lanang mendesah pelan, rasa kecewa mulai ia rasakan karena ia tak mau munafik, sejak awal bertemu lagi dengan Redanti ingin sekali ia menaklukkan hati wanita tegar di depannya ini. Ia tahu bagaimana menderitanya Redanti saat disia-siakan oleh Abdi dan keluarganya. Hanya yang membuat Lanang heran mengapa Redanti sepertinya masih memberi peluang pada Abdi untuk kembali lagi.

.
.
.

Kemuning masuk ke ruang kerja papanya dengan membuka pintu secara kasar lalu menutupnya dengan suara keras. Dokter Widyatmoko hanya tersenyum ia yakin ada hal tak memuaskan yang dialami Kemuning, entah apa, sebagai anak tunggal dari keluarga mapan kemuning terbiasa dimanja maka jika ada yang tak sesuai keinginannya biasanya selalu saja muncul tingkahnya yang aneh-aneh, ngambek atau bisa jadi mengamuk meski tidak sampai merusak benda-benda di sekitarnya.

"Ada apa Sayang?"

"Benci aku sama Papa, sejak awal kan aku dah bilang gak suka sama duda itu tapi papa maksa aja, dan kalo dipikir lagi emang ganteng banget sih itu orang, badan tinggi besar, kekar lagi, Nuning jadi ingin lihat dia gak pake baju."

Dokter Widyatmoko tertawa, ia tak mengira jika pikiran anaknya sampai ke sana.

"Heis kok bilang gitu anak gadis papa, nggak boleh."

"Ih Papa, maksudnya baju atasannya Paaaa, pingin lihat roti sobeknya ajaa," sahut Nuning masih dengan mode kesal. Sekali lagi Dokter Widyatmoko tersenyum lebar.

"Kamu sudah waktunya menikah anakku biar nggak punya pikiran aneh-aneh, makanya Papa ingin kamu mengenal lebih dekat Abdi seperti apa, seandainya orang tuanya masih hidup, akan lebih mudah menjodohkan kalian, kami sudah seperti saudara."

"Tapi dia nyebelin, udah duda kebanyakan tingkah lagi, harusnya dia bersyukur dideketin gadis kayak aku, eh malah dia kayak masih cinta sama mantannya, aku dicuekin Paaa." Dokter Widyatmoko kaget, ia melihat anaknya lebih intens.

"Kamu tahu dari mana?"

"Lah tadi kan pas aku ke sana antar makanan tiba-tiba aja si mantan datang dan Mas Abdi gak jadi makan makanan yang aku bawa ih keseeeel."

Dokter Widyatmoko mendekati Nuning yang masih saja cemberut. Mengelus kepalanya dan menatap wajah anak tunggalnya sambil tertawa pelan.

"Abdi itu juga anak tunggal, dia pasti manjanya kayak kamu, coba kamu belajar lebih dewasa, aku yakin dia akan menyukaimu."

"Kata siapaaa, dia kalo sama aku cuek gak ada manja-manjanya."

"Sama kayak kamu dia berarti, kalo sama pasien kan kamu kelihatan dewasa Sayang, tapi coba kalo pas ngamuk kayak sekarang, anak playgroup aja kalah."

Nuning memukul bahu papanya, dan kembali merajuk karena ingat bagaimana ia tak dipedulikan oleh Abdi.

.
.
.

"Ngapain sih Mas dari tadi mondar-mandir? Harusnya Mas seneng kan kasus Mbak Re sudah beres dengan berakhir damai, artinya Mas bisa menunjukkan pada Mbak Re bahwa Mas orang cerdas, jika bisa secara damai mengapa kita harus bertarung di pengadilan? Ye kaaaan?"

Abdi berhenti melangkah, menatap sepupunya yang Abdi yakin punya alat pencernaan yang bisa menampung makanan satu drum besar. Dari tadi tiada henti mengunyah apa saja yang ada di meja Abdi.

"Seneng ... seneng, kepalamu, gimana aku bisa seneng, dari tadi Caca aku telepon gak diangkat, pasti itu laki-laki sok cakep ngajakin dia kencan lagi, stres aku dari tadi, dia kan sok cool aja, dan aku tahu Caca kayaknya mulai kasi perhatian juga sama kunyuk satu itu."

"Ya usaha dong gimana, kejar terus, Pepet terus."

"Emang truk gandeng pake dipepet." Abdi akhirnya kembali duduk.

"Aku ngeri kadang Net, jika berpikir keduanya jadian trus mereka nikah, lalu aku sama siapa? Aku nggak mau Caca jadian sama orang itu, pokoknya Caca harus balik ke aku."

Ucapan Abdi membuat Neta tertawa keras, ia merasakan kesedihan sepupunya tapi rasanya terdengar lucu, laki-laki dewasa tak pantas merengek-rengek.

"Makanyaaa bersaing dengan cara sehat, Mbak Re itu dewasa ia akan lebih suka pada laki-laki dewasa."

"Kebalik kamu, dia lebih suka jika aku bermanja-manja padanya," ujar Abdi.

"Iyaaa duluuu, saikiiii? kudu muntah dekne (sekarang? Mau muntah dia?)" Neta tertawa tiada henti saat melihat wajah marah sepupunya.

"Bodo ah, nggak mikir pendapat kamu, aku mau jemput Caca, siapa tahu rejekiku dia mau aku ajak pulang bareng sambil jalan-jalan."

"Ngimpiii ... ngimpiiii," teriak Neta, Abdi tak peduli ia mencari nomor Redanti dan mulai menelepon.

Halo  iya

Hai Ca, aku jemput kamu ya,ini kan dah jam pulang

Maaf Mas aku ada di rumah mas Lanang, mamanya ada perlu sama aku sekalian mau memastikan jumlah berapa orang yang mau dirias di salon kepunyaan temanku

Abdi langsung mematikan ponselnya dan berteriak keras.

"BETUL KAN NEEET BETUL KAAAAN!"

"Ya Allah Maaaas kesurupan opo piye Iki siiih, istighfar Mas istighfar .... "

💫💫💫

16 Oktober 2020 (14.45)

Duda Gagal Move-on (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang