"Dara bangun! Dasar pemalas!"Ruby menggeleng kepala melihat keadaan kamar Dara. Berantakan seperti kapal pecah. Dara menarik selimutnya hingga ke atas kepala. Tidak perduli ocehan Ruby.
"Dara! Bangun! Kamu gak kuliah? Astaga... Perempuan kayak apa sih bangun kesiangan." Ruby menendang pakaian Dara yang berserak di lantai. Dara terduduk di atas kasur dan menghela nafas.
"Bisa gak sih jangan berisik! Lebay banget." Ucap Dara.
"Untung-untung aku bangunin ya. Sebelum mandi beresin kamar. Udah kayak kapal pecah," ucap Ruby melangkah ke arah pintu.
"Kamu berangkat sendiri aja. Aku bisa berangkat sendiri. Apa gunanya ada pembantu kalau gak dimanfaatin? Kamar ini kamarku, kenapa kamu yang sewot sih," balas Dara melihat Ruby di ambang pintu.
"Ini untuk kebaikanmu." Ketus Ruby, dia sangat benci masuk ke kamar Dara yang lebih parah dari bentukan kapal pecah itu. Untung saja wanginya tidak seperti kandang ayam.
"Jangan cerewet bisa? Menjauhlah dari kamarku jika kamu gak suka bentukan kamarku!" Balas Dara.
Wanita berbadan mungil itu turun dari tempat tidur dan langsung berjalan ke arah kamar mandi. Dara bukan pemalas akut. Ada saatnya mood dia baik dan akan membereskan sendiri hingga mengkilat. Tunggu dateng dulu pencerahan dalam dirinya.
"Dara.... Ada apa? Kenapa pagi-pagi kalian sudah ribut?" Amara menegur saat melihat Dara sudah turun.
"Mam, Ruby mesti dibawa ke psikiater deh. Kelamaan jomblo bikin otaknya berhenti berfungsi. Marah-marah aja." Ujar Dara sudah duduk di meja makan dan meraih susu putihnya.
"Ada apa?"
"Entahlah, akhir-akhir ini Ruby sering marah-marah gak jelas. Dia juga suka membanting pintu tanpa sebab." Keluh Dara menjelaskan.
Amara menekan bibirnya mendengar ucapan Dara. Keputusan tepat ia menikahkan Ruby lebih cepat agar tidak membuat susah hidupnya. Pikirannya seketika kepada pertemuannya dengan teman arisannya di pesta kemarin.
"RUBYYYY!" Panggil ibunya dengan kuat.
"Ma... Aku denger ya." Teriak Ruby melangkah turun dari tangga. "Kenapa harus teriak-teriak sih kayak di hutan."
"See Mam. Kerjaannya marah-marah terus. Bentar lagi keriput muka dia kebanyakan marah-marah," ujar Dara.
"Jaga mulutmu, Dara!" Bentak Ruby.
"Kenapa kamu yang marah? Yang dikatakan Dara benar. Kamu kira barang di sini gak akan rusak kamu banting-banting? Lain kali berpikir baru bertindak," ujar Amara penuh penekanan.
"Okeh! Aku gak akan banting lagi. Tapi aku gak ngerasa banting-banting barang." Ruby menggelengkan kepala menolak tuduhan ibunya. Lalu ia meninggalkan ibu dan anak itu dengan kemarahan penuh.
"Mommy liat kan Ruby rada senget kepalanya. Aneh bisa marah gak ada sebab gitu." Dara merengutkan wajahnya dengan dibuat-buat.
🌹🌹🌹
"Hai Dara. Dressmu manis," puji Laras, wanita yang bertubuh setara tingginya dengan Dara.
"Makasih. Baju kamu juga bagus," balas Dara tersenyum, "Gimana persiapan pesta ulang tahunmu? Semua udah beres?" tanya Dara, mereka berjalan beriringan ke kelas mereka.
"Kurang dana, Ra. Kayaknya gak usah jadi aja dirayain dari pada pestanya nggak menarik. Kalau sederhana kan jadi malah ngebosenin." Ujar Laras.
Wanita itu sengaja membuat Dara merasa kasihan. Ia berharap Dara menawarkan bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love To Kill
RomanceRate: 21+ Bayangkan saja Ruby Calista, gadis serba berkecukupan menikahi cowok yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya hanya karena orang tuanya. Kening Ruby berkerut, wajahnya berubah ekpresi. Tidak ada lagi kehangatan dan senyum di bibirnya. T...