Kuperhatikan terus menerus jalinan awan di langit yang cerah itu. Berbanding terbalik dengan mendung suasana yang merengkuhku selama dua minggu ini. Aku masih selalu berpikir tentang kematian. Sejak ia pergi, yang kuharapkan satu-satunya hanyalah sebuah kejadian yang mungkin merenggut nyawaku. Apapun itu selagi ragaku masih dapat terkubur dengan layak nantinya.
Meskipun aku sudah kembali kepada rutinitas yang harus kujalani, tetap saja lubang besar itu terlalu dalam untuk ditutupi. Setiap aspek di hidupku membuatku teringat akan Irina dan juga mantan kekasihku yang entah sekarang dimana.
Biasanya setiap pagi, aku, Irina, dan Mama selalu sarapan bersama. Minus Papa yang sering berangkat pagi sekali atau malah belum pulang karena harus ada di rumah sakit. Dia jarang bergabung di meja makan, dan sekalinya bergabung pun tak merubah banyak suasana pagi apalagi Papa adalah sosok yang pendiam. Tapi, sejak seminggu lalu rumah ini sepi. Tidak ada acara sarapan bersama dan rumpianku dengan para maid tentang betapa gaduhnya teriakan Mama di pagi hari. Tidak ada keberisikan acara memasak antara Irina dan Mama yang sudah mirip tv show Master Chef. Tidak ada lagi. Semuanya berubah total.
Mama selalu sarapan di kamar dengan makanannya diantarkan para maid. Aku sering tak bisa tidur, tidak pernah lagi mendengar gedoran di pintu kamar yang membuatku berdecak kesal karena tidurku terganggu. Aku jarang sarapan karena kehilangan nafsu makan secara drastis. Dan yang paling terasa adalah tak ada lagi yang mengucapkan kalimat tajam dan to the point padaku saat aku menangis sendirian di balkon.
Entah sudah berapa lama aku termenung hingga alarm hp-ku berbunyi. Mengingatkanku untuk pergi ke kampus karena ada kelas pagi ini.
Dengan langkah malas aku bangkit dan menyingkir dari balkon kamar. Menyambar tas dan sepatu kets putih kesayanganku lalu keluar kamar. Menuju halaman rumah dimana Pak Yosi sedang memanaskan mobil untuk mengantarkanku ke kampus. Aku mulai terbiasa tak berpamitan pada Mama yang masih tak ingin diganggu siapa pun. Apalagi wajahku yang sangat mirip Irina pasti akan membuat Mama terus-menerus ingat dengan kembaranku satu itu. Ujung-ujungnya dia akan menangis dan menyesalkan banyak hal yang bukan salahnya. Aku tak mau melihatnya dalam keadaan seperti itu. Mama masih sangat tertekan dan aku tidak ingin membebani hatinya lebih dari saat ini.
Aku memandang jalanan dengan pandangan sendu. Setiap inci kota ini mengingatkanku pada kekasihku. Sosok lain yang selalu menyediakan bahunya untukku bersandar dan menghiburku hingga aku tertawa karenanya. Ia dulu suka sekali mengajakku pergi jalan-jalan padahal aku bukan tipikal orang yang suka keluar rumah. Ia yang dulu membuatku bahagia hanya dengan kehadirannya di sampingku.
Aku menghela napas karena itu sudah menjadi kenangan di masa lalu. Rasa sakit hatiku muncul begitu saja mengulang adegan dimana ia berkhianat di depan mataku. Meski aku tak pernah mengerti alasannya karena aku terlanjur sakit hati sehingga memutuskannya di saat itu juga. Hubungan kami bahkan sangat baik. Kami tak bertengkar sebelumnya. Hanya saja, satu hari sebelum berakhirnya hubungan kami, dia terlihat tidak baik-baik saja. Entahlah. Aku lelah memikirkannya. Toh sekarang dia bukan siapa-siapaku lagi. Aku sedikit bersyukur bahwa kami tidak satu kampus sehingga aku tidak perlu khawatir akan sakit hati jika melihatnya berada di sekitarku.
Saat sampai aku langsung menuju ke ruang kelas di lantai dua. Ingin segera duduk dan menyibukkan diri dengan buku-buku ilmiah. Kelas sudah ramai dan seperti biasa, aku menjadi manusia yang invisible. Ada dan tidak adanya aku tak mempengaruhi keadaan kelas. Yeah, seperti yang sudah kubilang di awal bahwa teman-teman kelasku tidak ada yang betah berteman denganku. Entah karena sifat cuekku yang menyebalkan atau nada tajam yang terlalu jujur dari ucapanku kepada mereka. Jujur saja, aku seperti merasa tertular Irina karena sifat cueknya juga ada pada diriku selama bertahun-tahun.
Hanya seminggu lalu, setelah aku mengambil cuti lima hari, mereka bersikap dan memandangku dengan tatapan sendu. Mereka tahu bahwa saudaraku meninggal. Beberapa ada yang mengatakan belasungkawa dan kuterima dengan tidak biasa. Rasanya agak aneh. Sebenarnya mereka adalah orang-orang baik, hanya saja mungkin sikapku selama ini membuatku tak memiliki interaksi yang kuat dengan siapa pun orang di kelas ini. Aku gagal dan selalu gagal berbaur dengan benar. Bukannya aku menghindari sebuah pertemanan, hanya saja aku tidak memiliki keinginan lebih untuk mewujudkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)
Teen FictionLexi atau Rilay adalah seseorang yang membuatku mampu membuka mata akan keindahan dunia. Di saat semua orang mengabaikan dan menaruh benci padaku, Rilay tidak melakukannya. Dia adalah manusia pertama yang menyapaku dari gelapnya buta arah yang amat...