Aku masih tenggelam di tengah tumpukan perkamen tua dan buku-buku lama. Terjebak di ruangan pengap berfentilasi minim dan cahaya remang lampu bohlam di atas kepala. Menghela napas yang ke sekian kalinya karena harus di sini bersama dua perempuan unik yang baru kukenal. Entah aku harus bersyukur atau memaki ulah absurd mereka. Gara-gara mereka, aku tidak bisa masuk kelas terakhir tapi pikiran penatku teralihkan karena kehadiran dua orang itu.
Masih di posisi memperbaiki letak buku tua yang berdebu, aku mendengar ocehan dua perempuan itu sedari tadi. Walaupun tangan mereka bergerak membersihkan debu dan mengurutkan buku-buku di perpustakaan bagian dalam ini, perdebatan tentang siapa yang salah mengudara hingga sampai kupingku.
Aku tidak mengerti mengapa aku menurut saja saat ditarik mereka mengikuti hukuman ini. Padahal di posisi ini akulah korban yang sebenarnya. Tidak ada sangkut-pautnya dengan dua perempuan itu. Aku menghela napas lagi, kesalahan satu-satunya adalah aku yang berada di sekitar mereka saat mereka membuat ulah.
Jika ada yang bertanya apa yang terjadi sebelum ini, aku sendiri tidak yakin. Mereka membuat ulah saat aku melamun. Tapi, walaupun samar aku masih bisa mengambil kesimpulan dengan kejadian satu jam yang lalu.
--
"Jadi kamu bukan asli Indonesia?"
Yang bertanya adalah Ruby. Sejak awal aku merasa ia sangat tertarik dengan aura lokalku yang minimalis. Membuatku mau tak mau menceritakan asal-usul singkat bagaimana aku ada di muka bumi. Membuka sedikit luka menganga ketika aku mengingat Irina. Bagaimana pun Irina adalah bagian dari diriku. Seseorang yang membersamaiku terlahir ke dunia.
Sebenarnya juga aku tidak terbiasa bercerita tentang keluarga dan asal-usulku lebih dalam kepada orang lain. Jika biasanya aku akan mengatakan bahwa aku memiliki darah Inggris dari kakek buyutku atau jawaban singkat lain selain itu, maka kali ini demi rasa penasaran seorang Ruby aku menceritakan hampir sempurna tentang bagaimana aku lahir ke dunia dan memiliki wajah yang menurut mereka kental dengan wajah bule.
"Pantesan. Kukira kamu bukan orang Indonesia tadi. Kayak bule-bule kurang kerjaan yang mau susah-susah dateng ke Indo cuma buat merasakan gimana rasanya tanah air." Ujar Ruby. Kurasakan sedikit perubahan dalam nada suaranya.
"By the way, aku ikut berduka atas kepergian kembaranmu. Maaf, aku beneran ngga tau." Lanjut Ruby dengan wajah yang menyiratkan kata maaf lebih dalam dari ucapannya.
"Ngga papa. Kalian, kan ngga tau." Ujarku dengan senyum singkat. Demi apapun yang ada di dunia ini, aku merasa kikuk karena suasana ini berubah menjadi lebih canggung dari sebelum Ruby muncul dan memberi obrolan di antara aku dan Rilay.
"Issh! Kebiasaan, kan. Maaf Aria, Ruby emang nggak peka." Kini aku mendengar nada jengkel dalam kalimat Rilay. Aku menatap matanya yang mengalirkan kelembutan dan selanjutnya aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja mereka berdua sudah berisik sekali cek-cok.
Jika mereka cek-cok dalam intensitas kecil alias cuma sekedar desis-desisan bisikan, aku masih bisa mewajarkan. Tapi, yang mereka lakukan lebih dari itu. Mereka menyita atensi setiap mata yang terganggu sekaligus penasaran sehingga membuat salah seorang di sana melaporkan kepada petugas perpustakaan.
Aku yang sedang sadar dan tidak sadar karena kini melihat mereka sudah dijewer penjaga perpustakaan, seketika melonjak kaget karena suara penjaga perpustakaan berusia kurang lebih setengah abad itu tertuju ke arahku. "Kamu juga ikut saya!"
--
Sehingga di sinilah kami sekarang.
"Salahmu tiba-tiba teriak ngga terima. Kayak toa masjid aja. Padahal toa masjid masih mending kedengerannya daripada suaramu." Rilay membalas sengit entah yang keberapa aku tidak menghitungnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is A Gift and A Miracle (Hiatus)
Teen FictionLexi atau Rilay adalah seseorang yang membuatku mampu membuka mata akan keindahan dunia. Di saat semua orang mengabaikan dan menaruh benci padaku, Rilay tidak melakukannya. Dia adalah manusia pertama yang menyapaku dari gelapnya buta arah yang amat...