Utami memandang sendu pada album foto di pangkuannya. Tidak terasa, air matanya menetes ke salah satu lembar foto yang menampakkan ketiga putranya yang saat itu masih bersekolah di sekolah dasar.
Ketiga putranya memang hanya berselisih usia kurang dari dua tahun. Di foto itu, Adji anak pertamanya duduk di kelas 5, Bara anak keduanya duduk di kelas 3, dan Chandra anak bungsunya baru saja masuk sekolah dasar. Masa-masa yang tidak akan Utami lupakan sampai kapan pun. Waktu di mana ketiga putranya masih bergantung padanya, bermanja dan selalu meminta perhatiannya. Kini, saat-saat itu terasa sangat jauh, bahkan seperti mimpi.
Utami mengembuskan napas berat. Ia menutup album foto dan meletakkannya kembali pada rak buku di ruang kerja almarhum suaminya, Suryo Wijayadi. Sejak kepergian suaminya, baru kali ini Utami merasa kesepian, sendirian, padahal sudah lebih dari lima tahun suaminya meninggal.
Wanita berusia lebih setengah abad itu merasa usianya tidak akan lama lagi. Utami mengingat kembali kata-kata dokter keluarga yang datang memeriksanya pagi tadi karena ia mengeluh nyeri di dada sebelah kirinya makin sering terasa.
"Hindari stres adalah salah satu kunci kesehatan tubuh secara keseluruhan. Begitu pun jantung, jangan bebani kerjanya dengan tekanan pikiran berlebihan. Cobalah lebih santai. Berlibur dengan anak cucu misalnya," ucap Dr. Wahyu sambil merapikan alat medisnya.
Sebenarnya, jika mengajak ketiga putranya beserta keluarga mereka semudah perkataan Dr. Wahyu, itu mungkin akan mengurangi sedikit beban pikiran Utami. Masalahnya, hubungan ketiga putranya merenggang dua tahun terakhir ini. Terlebih setelah putra bungsunya menikah dan keluar dari rumah, mereka hampir tidak pernah berkumpul.
Utami tidak mengerti, ada apa dengan ketiga putranya? Makin lama mereka makin jauh saja satu sama lain. Setiap ia meminta mereka semua datang berkumpul, pasti ada saja alasan, sehingga hanya salah satu dari mereka yang datang berkunjung. Rasanya seperti mereka bersepakat untuk datang bergiliran agar tidak datang bersamaan. Benar-benar membuat ia frustasi.
Suara ketukan pintu menarik Utami dari pikirannya pada kondisi keluarganya saat ini. Tini--asisten rumah tangganya--masuk sambil membawa nampan berisi secangkir teh melati kesukaan Utami. Aroma khasnya sudah tercium lebih dulu, bahkan saat Tini masih di depan pintu.
"Di minum dulu tehnya, Bu," ucap Tini sembari meletakkan cangkir teh di meja depan sofa yang Utami duduki.
"Terima kasih, Tin."
Tini mengangguk sopan, tetapi tidak beranjak dari tempatnya. Utami yang merasa Tini masih di sampingnya lantas bertanya. "Ada apa, Tin?"
"Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma mau pesen ke Ibu, inget kata Pak Dokter tadi pagi, Ibu jangan sampai banyak pikiran, nanti dadanya sakit lagi," kata Tini dengan raut khawatir di wajahnya.
Utami tersenyum tulus. "Iya, Tin. Saya lagi nggak banyak pikiran, kok. Terima kasih untuk perhatiannya."
"Baik, Bu. Kalau gitu saya pamit balik ke dapur."
Utami mengangguk mengiyakan, lalu kembali mengembuskan napas berat setelah Tini menutup pintu ruang kerja di rumahnya. Kenapa asisten rumah tangganya bisa lebih peduli pada kesehatannya dibandingkan ketiga putra dan juga menantu-menantunya? Ironis.
Sambil menyesap tehnya, Utami menimbang-menimbang apa yang sebaiknya ia lakukan untuk memperbaiki keadaan keluarganya? Sebenarnya ia merasa ada yang tidak beres dari rumah tangga ketiga putranya, tetapi ia tidak ingin terlalu ikut campur. Mereka pun pasti tidak akan suka jika ada orang ketiga dalam rumah tangga, walaupun itu orangtua mereka sendiri.
Penampakan luar rumah tangga ketiga putranya memang terlihat baik-baik saja, tetapi insting seorang ibu tidak bisa dikelabui. Ia merasa ada yang salah di dalam keluarga mereka. Utami harus mencari seseorang untuk berbicara. Ia butuh orang untuk berdiskusi, minimal bisa ia jadikan tempat bertanya. Pilihannya jatuh kepada Wibowo, pengacara sekaligus konsultan hukum keluarga Wijayadi. Juga merupakan orang kepercayaan almarhum suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Warisan [TERBIT]
General Fiction"Keluarga tetaplah keluarga, bagaimanapun bentuk dan keadaannya." Cerita ini merupakan cerita kolaborasi dengan Andini Naulina. Draft pertama, tandai typo, dan harap maklum.