Rasanya tidak pernah dalam seumur hidupnya, Utami merasa begitu senang seperti hari ini. Di usianya yang sebentar lagi genap 60 tahun, di vila yang dibangun oleh almarhum suami tercintanya, ia dikelilingi oleh anak, menantu, dan cucunya. Walau ia bisa merasakan ketidakcocokan antar menantu, Utami berusaha untuk mengabaikannya. Ia berharap, dengan berkumpulnya mereka selama sebulan ke depan, keharmonisan keluarga bisa kembali tercipta.
Tini dan beberapa asisten rumah tangga telah memasak dan menghidangkan makanan di meja besar ruang makan. Sementara ketiga putra Utami dan keluarga mereka merapikan barang bawaan di kamar mereka masing-masing yang terletak di lantai dua. Ada enam kamar besar di lantai dua. Tiga kamar berderet menghadap ke taman belakang dan kolam renang dan tiga kamar lain berderet menghadap ke halaman depan. Sedangkan di lantai satu, terdapat satu kamar besar utama dan dua kamar berukuran sedang yang disediakan untuk asisten rumah tangga yang tinggal di vila.
Kiki berlari mendahului kedua orangtuanya dan langsung memilih satu kamar paling dekat dengan tangga di deretan menghadap taman belakang dan kolam renang.
"Mom, Dad, kita di kamar ini, ya! Aku mau kamar yang ini," seru Kiki sambil melompat riang di depan pintu kamar yang dipilihnya.
"Sayang, ini bukan kamar kita. Kamar ini punya Uncle Chandra. Kamar kita yang di ujung sana itu." Adji berkata sambil menunjuk kamar paling ujung di deretan yang sama.
Kiki merengut. "Tapi aku mau kamar yang ini, Dad. Soalnya lebih cepat kalau mau turun ke bawah karena dekat tangga. Pokoknya aku mau kamar yang ini!"
Adji bingung bagaimana cara merayu Kiki. Sama seperti Andrea yang keras dan berkemauan kuat. Jika ingin sesuatu, Kiki akan bertahan sampai mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Tapi, Ki--"
"Nggak apa-apa, Kak Adji. Kalau Kiki mau di kamar itu, biarin aja. Aku sama Chandra tempatin kamar sebelahnya." Shiena yang sudah berada di belakang Adji dan Andrea berkata lembut sambil tersenyum pada Kiki yang kembali terlihat senang.
"Iya, Dji. Santai aja, lagian kami belum taruh barang di kamar itu, kok. Jadi, nggak perlu pindahan," tambah Chandra yang berdiri di samping Shiena dengan sebelah tangan merangkul mesra pinggang Shiena dan tangan lainnya memegang pegangan koper.
Andrea yang sejak awal tidak suka dengan keramahtamahan Shiena, semakin sebal saja karena Shiena berhasil mengambil hati Kiki. Ingin sekali Andrea menolak menempati kamar itu, tapi melihat binar bahagia di wajah Kiki, rasanya ia tidak tega juga. Selain itu, jika ia menolak dan memperlihatkan ketidaksukaannya, itu bisa menjadi nilai minus di mata Utami yang entah bagaimana sudah berdiri di belakang Shiena dan Chandra.
"Ucapan terima kasih untuk Uncle Chandra dan Auntie Shiena mana, Ki?" tanya Andrea sambil mengusap kepala Kiki yang terlihat sudah tidak sabar memasuki kamar.
"Thank you Uncle Chandra and Auntie Shiena," ucap Kiki dengan senyum manis bahagia.
"Sama-sama, Sayang," balas Shiena dengan senyum yang tidak kalah manis.
Sementara itu, Andrea menerima kunci kamar dari Utami dengan senyum dipaksakan. "Terima kasih, Bu. Terima kasih juga ya, Shiena, Chandra."
"Terima kasih kembali," ucap Chandra sambil tersenyum.
Setelah keluarga Adji masuk ke kamar, Utami, Shiena dan Chandra memasuki kamar di sebelahnya.
"Waaah, pemandangan dari kamar ini nggak kalah bagus dari kamar sebelah," ucap Shiena senang seraya membuka gorden putih yang menutupi jendela besar ke arah balkon yang menghadap taman belakang dan kolam renang.
Utami tersenyum senang. "Terima kasih ya, kalian sudah mengalah sama Kiki. Ibu jadi senang, ternyata kalian bisa akur."
Shiena berjalan menghampiri Utami, lalu memeluk ibu mertuanya dari samping. "Ibu nggak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya kan kami ngalah. Udah gitu, Kiki yang minta, tentu saja kami nggak akan nolak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Warisan [TERBIT]
General Fiction"Keluarga tetaplah keluarga, bagaimanapun bentuk dan keadaannya." Cerita ini merupakan cerita kolaborasi dengan Andini Naulina. Draft pertama, tandai typo, dan harap maklum.