Useless

32 3 1
                                    

Useless


Semilir angin yang bertiup dari arah barat, menerpa rambut panjang milik perempuan yang sekarang tengah duduk di atas rerumputan hijau yang lapang. Pandangan matanya tertuju ke arah depan, namun pikirannya melayang entah ke mana. Bunyi hembusan napas yang keluar dari bibirnya seolah saling berkejaran dengan suara hembusan angin yang meniup di udara.

Perlahan mata yang tertuju ke depan itu memerah, mengilat hingga berlinang. Bahunya naik turun seiring dengan setetes air lolos dari pelupuk matanya. Perempuan itu menangis. Ia terisak sampai mencengkeram dadanya yang terasa amat sakit bagai ditusuk belati. Namun bedanya ia tidak terluka.

Entah apa yang membuatnya sampai seperti ini. Tetapi rasanya memori ingatan perempuan itu belum hilang. Ingatan tentang beberapa perkataan yang terucap dari bibir-bibir jahat. Rasanya perkataan menyakitkan itu masih terus terulang di dalam benaknya. Bagaikan piringan kaset yang terus berputar dan sulit untuk dihentikan.

Layaknya bermain puzzle, sepertinya perempuan itu mampu menyusunnya kembali hingga terbentuklah puzzle itu secara sempurna. Yang jika dilihat, ternyata hanyalah pemikirian buruk yang dihasilkan oleh orang lain terhadap dirinya.

Namun puncaknya adalah pagi tadi. Di ruang makan rumahnya sendiri. Dirinya merasa hancur sehancur-hancurnya. Lebur menyatu dengan kesedihan yang teramat dalam.

***
-

Flashback-

"Salsa, kamu mau hadiah apa dari Mama?"

Wanita paruh baya dengan celemek hitamnya tersenyum. Guratan keriput di wajahnya ikut tertarik ketika ia mengeluarkan senyuman manisnya.

"Ponsel baru, dong, Ma!" seru Salsa menjawab. Si anak perempuan dari wanita tersebut.

"Ponsel baru aja? Nggak ada lagi?" tanya wanita itu.

Salsa menggeleng.

Wanita itu duduk di samping Salsa, ia mengusap rambut panjang Salsa kemudian beralih mencubit pipinya gemas. Padahal anak perempuannya itu sudah berusia sembilan belas tahun.

"Ma, udah ah, sakit pipi aku." Salsa menjauhkan pipinya dari cubitan sang Mama. Ia juga menyadari kedatangan seseorang yang baru saja duduk mengisi kursi kosong di seberangnya.

Salsa tersenyum, yang langsung dibalas oleh seseorang itu. Sedangkan wanita tadi sudah beranjak untuk menyiapkan sarapan berupa nasi goreng serta susu hangat di atas meja.

"Aku nggak ditawarin hadiah juga, Ma?" tanya seseorang itu sambil mengoleskan selai cokelat ke rotinya. "Cuma Salsa aja?"

Wanita paruh baya itu tertawa. Namun terdengar mengerikan di telinga Salsa. Sedangkan seseorang tadi hanya menatap sosok Mamanya dari belakang dengan pandangan malas. Ya, Salsa dan seseorang di seberangya merupakan sepasang adik kakak dengan usia yang terpaut cukup jauh. Salsa yang berusia sembilan belas ternyata mempunyai kakak dengan usia enam tahun di atasnya.

Ririn. Perempuan dengan penampilan tak jauh beda dengan Salsa itu kini tengah menyiapkan hatinya ketika tubuh sang Mama berbalik dan matanya melemparkan tatapan tajam padanya.

"Sudah dua puluh lima, masih minta hadiah?" tanya wanita itu.

Mulut Ririn terasa pahit. Pertanyaan yang dilontarkan Mamanya membuat asam lambung Ririn naik dengan mudah, membuat dirinya kini tak bernapsu untuk melanjutkan sarapan. Ia sudah tau ke mana arah pembicaraan yang akan dibawa Mamanya.

La Vie én NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang