Sambungan Telepon

16 2 0
                                    

Sambungan Telepon


Pada hari ini, tepat pukul dua siang. Hujan pertama di bulan Desember turun membasahi sebagian kota Bandung. Bunyi gemericik air hujan yang jatuh mengenai atap yang terbuat dari seng turut mengisi kesunyian yang ada di dalam bangunan berukuran 3 x 5 meter ini.

"Akhirnya selesai juga." ucap pemuda laki-laki bernama Malik. Ia tengah merapikan alat gambarnya karena baru saja menyelesaikan tugas desainnya. Malik merupakan desainer di salah satu perusahaan sepatu yang ada di Bandung. Ia kerap merancang model-model sepatu yang ternyata banyak diminati oleh para pelanggan. Desain tadi merupakan deadline desain terakhir yang telah selesai dibuatnya, dan siap dikirimkan kepada atasan untuk menunggu keputusan disetujui atau tidak.

Setelah alat gambarnya tersusun rapi di atas mejanya, ia berjalan menghampiri jendela kamarnya, memandangi keadaan hujan yang turun dengan sangat lebat di luar sana. Helaan napas keluar dari mulutnya. Tadinya ia berencana pergi ke rumah temannya untuk menyelesaikan projek kerjaan bersama, namun setelah melihat kondisi cuaca saat ini terpaksa dirinya harus mengubah jadwal yang sudah direncanakan.

Dengan langkah berat, ia berjalan menuju dapur. Sepertinya secangkir teh bisa menemani waktunya untuk menikmati suasana hujan pertama di bulan Desember ini. Sesampainya di dapur, tangannya dengan cekatan langsung mengambil toples gula yang terletak di atas kulkas. Disusul dengan sebungkus teh celup yang bungkusnya sudah terbuka dan isinya tinggal tersisa satu buah. Setelah menuangkan air panas ke dalam cangkir yang berisi teh celup, ia menambahkan gula yang ternyata sedikit lagi akan habis di dalam toples yang tadi ia ambil. Setelah semuanya sudah lengkap dimasukkan ke dalam cangkir, ia mengaduknya secara perlahan dan membawanya ke dalam kamar.

Drrrttt Drrrtt

Ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba bergetar dan menyala, menunjukkan bahwa ada seseorang yang menelponnya. Dengan santai ia menaruh cangkir tehnya ke atas meja dan berganti mengambil ponselnya. Ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga. Barulah terdengar sapaan seseorang dari seberang sana.

"Gimana? Jadi gak ke rumah?"

"Gak jadi, Bay. Di sini hujan lebat. Naik motor pas lagi hujan gini ribet. Kayaknya nanti malem gue baru bisa ke rumah lo, gimana?"

Sembari menunggu orang di seberang sana membalas ucapannya, ia menyeruput cangkir berisi teh yang kepulan asapnya tak setebal tadi. "Gimana, Bay? Bisa nggak?"

"Bisa, Mal, gampang itu mah. Yang penting lo kabarin aja kalo misalnya lo udah berangkat biar gue bisa siapin alat-alatnya."

"Makasih, Bay. Lo baik banget dah, hahaha!" Ia tertawa setelah mengucapkan itu. Tak lama terdengar suara protes dari Bayu-temannya di seberang telepon.

"Sama-sama. Santai aja kenapa, sih? Kayak sama siapa aja."

"Gue takut ngerepotin lo. Ya udah, kalo gitu gue tutup ya-"

"Eh? Tunggu bentar!"

"Kenapa, Bay?"

"Lo udah lakuin apa yang gue suruh kemarin?"

"Yang mana?"

"Minta maaf sama Mama lo."

Ucapan Bayu membuat keadaan hening sebentar. Kemarin saat di kantor, Malik bercerita banyak tentang masalah yang ia miliki dengan Mamanya yang tinggal di Sulawesi kepada Bayu. Dirinya bercerita kepada Bayu bukan tanpa alasan. Bayu dan Malik sudah bersahabat cukup lama, ia sengaja bercerita dengan Bayu agar sahabatnya itu memberikan solusi tentang apa yang harus Malik lakukan nanti untuk memperbaiki keadaan yang sedang terjadi antara dirinya dengan sang Mama. Namun solusi yang diberikan Bayu ternyata belum dilakukan Malik sampai saat ini sehingga Malik hanya mampu terdiam mengabaikan panggilan-panggilan dari Bayu di seberang sana.

"Gue tebak, pasti lo belum hubungin Mama lo sama sekali." ucap Bayu mengembalikan kesadaran Malik dari lamunannya.
"Kenapa, sih, Mal? Lo gak ada pulsa? Gak kasihan Mal sama Mama lo di sana yang nungguin kabar dari lo? Terakhir lo kabar-kabaran, lo malah marah-marah ke beliau, kan? Gak baik, Mal, marah sama orang tua kayak begitu."

Malik masih terdiam dan mendengarkan ucapan Bayu.

"Lo gak ada duit buat beli pulsa? Atau lo gak punya pulsa buat nelpon-"

"Bay," Malik memotong ucapan Bayu dengan amarahnya yang tertahan. "Ini bukan soal gue punya pulsa atau enggak. Tapi ini soal keberanian gue buat minta maaf ke Mama. Gue ngerasa malu sama diri gue sendiri, Bay." ucap Malik dengan suara tercekatnya karena menahan amarahnya kepada dirinya sendiri.

"Terus lo maunya gimana? Kalo lo terus-terusan kayak gini, hubungan lo sama Mama lo gak bakal baik. Gue tutup telponnya, abis ini lo harus pikirin baik-baik, Mal. Sebelum semuanya jadi terlambat."

Tuuut tuuut tuuut

Malik menjauhkan ponselnya dan melihat sambungan Bayu sudah terputus. Ia mencerna ucapan demi ucapan yang Bayu lontarkan saat di telepon tadi. Perlahan ibu jari Malik menyentuh layar ponselnya untuk mencari sebuah kontak. Kemudian ia kembali terdiam ketika dirinya menemukan sebuah nomor telepon di layar ponselnya, di sana tertera tulisan "Mamak" lengkap dengan angka berjumlah 12 digit di bawahnya.

Malik menatap angka-angka itu cukup lama, tiba-tiba ia mengingat kembali saat dua tahun yang lalu dirinya membelikan sang Mama sebuah ponsel jadul beserta kartu SIMnya di konter dekat rumahnya yang ada di Sulawesi. Tujuannya adalah agar sang Mama ataupun Malik bisa saling berkabar dan melepas rindu selama Malik bekerja di Bandung. Saat itu, Mama merasa sangat senang begitu tahu ia dibelikan sebuah ponsel oleh Malik. Ponsel sederhana yang sangat berarti dan sangat mudah digunakan oleh seorang wanita berusia enam puluhan. Dengan senyuman yang ada di wajah berkerutnya, ia dengan teliti mendengarkan apa saja yang diajarkan Malik tentang bagaimana menggunakan ponsel tersebut.

Sudah dua tahun lebih Malik bekerja di Bandung. Saat dirinya sangat rindu kepada Mamanya dan tidak bisa pulang ke Sulawesi, Malik selalu menelpon sang Mama berjam-jam. Bercerita tentang apa saja yang tidak pernah terasa bosan. Namun dua hari yang lalu ternyata Malik sudah merusak hubungan baiknya dengan sang Mama hanya karena sebuah permintaan Mama yang tidak bisa Malik lakukan.

Menikah.

Ya, Malik akui dirinya sudah berusia matang untuk menikah. Tetapi hanya saja dirimya masih belum siap.

"Malik, apa tidak sebaiknya kamu menikah, nak? Mamak ingin sekali punya menantu yang bisa menemani Mamak. Mamak sendirian di sini rasanya sepi sekali."

Ucapan Mama dua hari yang lalu di sambungan telepon begitu jelas. Sekiranya mampu membuat Malik lupa bahwa dirinya sedang berbicara dengan Mamanya sendiri. Meski Malik pusing karena dibebankan dengan beban pekerjaan yang begitu berat, tak seharusnya ia menumpahkan kepada sang Mama dengan emosinya hanya karena satu permintaan itu. Yang akhirnya membuat Malik begitu menyesal dan malu pada dirinya sendiri sampai saat ini.

Sebenarnya setelah Bayu memberikan solusinya itu, selepas pulang kerja Malik langsung membeli pulsa untuk menelpon sang Mama. Namun apa daya keberanian untuk menelpon sang Mama tiba-tiba hilang begitu saja berganti dengan rasa malu dan sesal yang mengerubungi hatinya.

Malik menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, kemudian ia kembali menatap layar ponselnya yang cahayanya sudah meredup. Ia kembali memikirkan ucapan Bayu tadi. Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu benar. Jika Malik terus seperti ini, maka seterusnya hubungan dengan sang Mama tidak akan membaik. Akhirnya dengan jantung yang berdegup cepat, Malik berusaha mengumpulkan keberanian untuk menelpon sang Mama.

Ibu jarinya sedikit gemetar ketika ingin menyentuh tombol hijau yang ada di layar ponselnya. Hingga ia berhasil menekan tombol itu, sebuah suara dari nada sambung terdengar begitu nyaring berlomba dengan suara degupan jantung Malik. Belum sampai di nada sambung ke-empat, sambungannya sudah diangkat oleh orang di seberang sana. Disusul suara sambutan hangat yang akhir-akhir ini sangat Malik rindukan.

"Malik... Apa kabar, Nak?"

End...

La Vie én NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang