Ketahuilah bagian satu, setelahnya dua, dan seterusnya kita.
Seperti biasa aku dibangunkan lewat alarm yang setiap hari berkumandang di luar kamar. Tepat pukul 06:30 ibuku seperti ingin mendobrak pintu kamar diikuti dengan suara yang keras.
"Cepat bangun! Nara sudah menunggumu." teriak ibuku.
Mendengar hal itu aku segera bergegas membuka pintu.
"Ah pagi bu, apa bekalku hari ini?" kataku sedikit menggoda.
"Cepat mandi saja dulu, aku ada tugas yang harus dikerjakan." kata Nara sambil tersenyum seperti biasanya.
Pagi itu menambah deretan kisah yang tidak pernah bisa aku lupakan. Sebuah kebiasaan yang selalu membuat pagi berawal dengan sangat cerah. Burung-burung berkicau seolah mereka menjadi irama dari obrolan singkat ku dengan Nara.
"Ayo kita berangkat." aku memalingkan badan dan membuka celah pintu.
Kita hanyalah sepasang keinginan yang terpaksa disatukan karena adanya persamaan. Bukan hanya perihal lagu kesukaan, pilihan makanan, ataupun hobi, tapi juga perihal perasaan.
Bel tanda istirahat berbunyi. Aku segera pergi menuju kelas Nara. Terlihat sekitar lorong masih sepi karena mungkin aku terlalu bersemangat menemui seseorang yang mungkin juga sedang menungguku. Sesampainya di depan kelas, ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku.
"Kali ini aku membuatkan nasi goreng, lalu tunggu disini dan jangan kemana-mana."
"Oke baik."
Nara bergegas pergi dengan sedikit tergesa-gesa. Aku duduk sembari melihat masakan yang dia buat untukku. Ah, aku sudah tidak sabar memakannya. Belum selesai aku bergumam, Nara datang.
"Ini air putihnya dan ini susu. Kamu harus banyak minum air putih dan susu!" katanya sambil tersenyum.
"Jangan lupa?"
"Jangan lupa habis makan langsung kembalikan tempat makan itu."
Aku hanya tertawa kecil sembari beranjak meninggalkannya.
Seperti biasa, hari itu berakhir di sebuah titik senyumnya. Pusat dimana aku membentuk sendiri duniaku. Dunia yang aku kira akan selalu bahagia di setiap detik, menit, dan kumpulan lini masa.
Pertemuan adalah kisah itu sendiri.
Lalu padanya terjadi bahagia.
Lalu padanya terjadi luka.
Dan perpisahan adalah hal yang ada atau tiada.
Bukan kisah sendiri, namun kebersamaan yang harus kita lalui.
Kita sama-sama menghilang, kita sama-sama mengenang.

KAMU SEDANG MEMBACA
NARASI
NonfiksiDalam narasi ini aku adalah cinta itu sendiri. Entah ini usaha melupakan, atau justru bunuh diri secara perlahan. Kembali aku mengenang luka, lalu menulisnya dengan bahagia.