"Luka memar itu bukti adanya kekerasan, Nad. Entah dari siapa kamu dapat luka itu, tetapi Guru BK harus tahu soal ini." Evan terdengar tidak main-main dengan ucapannya.
"Kamu ...."
"Panggil aku dengan sebutan Kak. Jelas karena aku jauh lebih senior dari kamu," potong Evan dan berhasil membuat kekesalan Nadia naik level.
Nadia menarik napas panjang, hati nuraninya menyuruh sabar. "Oke, Kak. Apa yang aku alami, nggak ada hubungannya dengan Kakak. Jadi stop ikut campur!"
"Nggak bisa, Nad. Harus ikut campur dan nggak ada lagi yang bisa nyakitin kamu!" Evan Lexanandra sudah lama memperhatikan Nadia. Hanya saja belum ada kesempatan yang pas untuk mendekati.
Nadia sendiri bingung dengan sikap kakak kelasnya itu. Mereka tidak kenal dekat, pacar bukan, saudara juga bukan. Jangan seperti sinetron, deh, tiba-tiba Nadia punya saudara tiri yang datang tak diundang.
"Kak Evan jangan merepotkan diri, deh! Kita nggak ada hubungan apa-apa, Kak!"
Nadia beranjak dari tempatnya. Tetapi sebelum langkah kaki sempurna keluar melewati pintu, kalimat Evan meluncur menghentikan."Mulai detik ini, kamu jadi pacarku. Tidak butuh alasan kenapa, dan aku serius." Evan tetap dengan ekspresinya. Tak ada canda atau niat menarik kalimatnya kembali.
Nadia tergugu. Tak ada angin, hujan, bahkan kilat, cowok yang tak banyak gaul ini, menembaknya. Haruskah merasa senang atau justru dia harus langsung menolak?
Nadia ini, sampai bingung harus terima atau tidak. Padahal Evan sudah memutuskan, tanpa bertanya, tanpa minta persetujuan.
"Kak Evan. Please, jangan bilang apa-apa sama guru BK. Habis riwayatku kalau sampai masalah ini sampai ke orang tuaku. Tolong!"
Evan menatap gadis yang sudah dia lantik jadi pacar itu dengan sedikit ... lembut? Tadi sangar sekali wajahnya. Begitu Nadia nurut langsung jinak. Baiklah Evan mengalah demi mata yang memohon padanya.
***
Jadwal olah raga hari ini diadakan di lapangan voli. Kebetulan jadwal kelas Nadia berbarengan dengan kelas XII-IPA2, kelas Evan Lexanandra. Nadia teringat lagi kejadian di UKS waktu itu.
"Payah, payah, payah!" Nadia mengusap wajahnya berkali-kali. Harusnya dia tidak mengingatnya sama sekali. Mereka belum dekat, kata jadian itu juga kemungkinan halu dan tidak bisa dianggap serius.
Sora menyadari sesuatu, disenggolnya lengan Nadia perlahan.
"Lo, nggak apa-apa, Nad?" tanya Sora tepat ke telinganya. Suasana lapangan sedang ramai. Apalagi kelas XII lagi materi basket di sebelah lapangan voli. Cewek-cewek di sana teriak-teriak tidak jelas."Nggak apa-apa," jawab Nadia sambil sesekali mengelus lengan. Nyerinya lumayan membuat Nadia meringis lagi. Mungkin seharusnya tadi dia tidak ikut main dulu, tetapi akan mengundang kecurigaan yang lain.
Di sudut arah lain, Evan diam-diam memperhatikan Nadia. Sepertinya memar di lengan Nadia cukup serius.
"Van, awas!" Evan lengah, hampir saja bola mengenai kepala kalau tidak sigap menangkapnya."Jangan melamun, Van! Bahaya meskipun kita cuma main-main, nggak bertanding sungguhan," saran teman satu tim. Evan membalasnya dengan anggukan.
Evan melihat sikap Nadia biasa saja. Cewek itu seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian di UKS. Jelas-jelas dia menembaknya. Memang dulu perhatiannya hanya iseng dan penasaran. Tidak serius.
Tetapi melihat reaksi Nadia yang santai, malah membuat Evan gusar. Dan satu lagi, Nadia mengingatkannya pada adiknya yang sudah meninggal. Kalau dia masih hidup mungkin seusia Nadia sekarang.
Jam pelajaran olah raga kelas Nadia selesai lebih dulu. Setelah ini Nadia harus menghadap wali kelasnya. Tadi saat istirahat di kantin ada yang memberitahunya. Firasat Nadia tidak enak.
Lagi-lagi nilai ulangan sains minggu ini belum ada peningkatan. Nadia mengamati lagi soal di kertas ulangannya, berikut lembar jawabnya. Bisakah dia raih tiga besar paralel kalau nilainya masih bertahan di angka tujuh? Nadia mengacak rambut yang tidak gatal.
"Nadia, ikut saya sebentar ke kantor, sekalian tolong bawakan buku tugas teman-teman kamu," perintah Pak Noval guru Matematika sekaligus wali kelasnya.
"Baik, Pak." Nadia ketar-ketir dipanggil. Ini saatnya dia akan mendengar kabar buruk.
"Perlu gue temenin, Nad?" tanya Sora memastikan Nadia baik-baik saja.
Nadia menggeleng, memberi isyarat kalau dia baik-baik saja. Sora pulang lebih dulu, dia harus bantu jaga toko kue. Sepulang sekolah biasanya kue yang baru matang dari panggangan baru di-display. Saat itu pembeli akan berdatangan lebih ramai.
"Duduk dulu, Nad. Bapak mau bicara," sela Pak Noval saat Nadia hendak berpamitan.
Nadia duduk. Gugup karena dia tahu pasti ini karena nilainya yang terjun bebas.
"Yaaa, kamu pasti tahu yang mau saya bicarakan. Sebagai wali kelas, saya ingin semua anak didik mendapat nilai maksimal. Termasuk kamu. Makanya saya rekomendasikan seseorang buat ngajarin." Pak Noval beberapa kali melihat ke arah pintu, sepertinya sedang menunggu seseorang datang.
Nadia cuma bisa pasrah, yang penting dia nggak belajar di rumah. Bakalan numpang lewat semua materinya nanti.
"Permisi, Pak. Bapak panggil saya?"
Kening Nadia menaut, sepertinya dia kenal sama suara ini. Reflek dia menoleh ke sumber suara.
"Lo!"
"Lo!"
Mereka kompak banget. Reaksi Pak Noval cuma senyum-senyum melihat tingkah kedua muridnya itu.
"Duduk, Van! Bapak panggil kamu ke sini untuk minta tolong." Pak Noval berhenti sejenak hingga Evan duduk di sebelah Nadia.
"Mampus, gue. Kalo Evan yang jadi tutornya," bisik Nadia dalam hati.
"Saya mau, Pak." Evan menjawab sebelum ditanya Pak Noval. Sebelumnya Pak Noval sudah bertanya lebih dulu.
Nadia bersungut-sungut kesal. Evan pasti sengaja langsung mau, biar bisa meledek dia habis-habisan.
Ya, akhirnya siang menjelang sore itu, Evan resmi jadi tutor untuk Nadia. Sabar, Nad!!
"Nad, ini jadwal gue ngajarin lo." Evan menyodorkan selembar kertas tepat di depan muka Nadia.
"Lo ini, ya. Bisa nggak sih, jadi kakak kelas yang nyenengin?" Tentu saja Nadia bete, baru diangkat jadi tutornya, Evan sudah punya jadwal belajarnya. Aneh atau memang kurang kerjaan, kali.
"Enggak." Setelah itu Evan melenggang pergi. Dia menahan senyum, mengingat ekspresi Nadia yang kesal tadi begitu menggemaskan di matanya.
Bersambung
Menggemaskan, katanya. Terus kenapa, Van.
Thank you for reading. See you, soon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuikhlaskan Kau Pergi
Подростковая литератураNadia berjuang mendapatkan prestasi terbaik di sekolah. Tidak mudah karena deraan kekerasan dari Marco (ayahnya). Marco memanfaatkan uang sebagai kelemahan Nadia, selama Nadia masih minta uang padanya, selama itu juga dia harus menuruti semua kemaua...