PROLOG

150 17 11
                                    

Marco meneguk kopi yang baru saja dihidangkan Lina—istrinya. Tak lama dia memuntahkan kembali kopi yang diminum.

"Kamu bisa bikin kopi nggak, sih?" bentaknya. Hampir saja cangkir kopi itu terjatuh ke lantai.

"Kenapa, Mas? Kepanasan atau kurang manis?" Lina bertanya dengan lembut, padahal hatinya terasa seperti diiris-iris dan disiram air jeruk nipis. Perih.

Reaksi Marco selalu berbeda setiap dia menyuguhkan minuman atau makanan. Semua serba salah di matanya.

"Kamu minum saja sendiri," ujar Marco ketus, sambil membuka layar ponselnya.

Tak ada lagi ekspresi lembut seperti saat Marco melamar dulu. Meminta hatinya untuk dimiliki dan dijanjikan bahagia.

Begitu ada notifikasi pesan  masuk wajah Marco berubah. Wajahnya muncul senyum dan berbinar-binar, entah mendapat pesan dari siapa.

"Aku buatkan lagi ya, Mas? Atau mau dibuatkan bekal buat sarapan di kantor? Roti bakar, ya?" Lina berusaha membuat hati Marco luluh dan memaafkannya. Laki-laki bodoh yang menyia-nyiakan seorang istri penyabar seperti Lina.

"Nggak perlu! Aku berangkat sekarang." Marco mengambil tas dan kunci mobilnya. Bergegas merapikan dasi, jas, serta tas yang harus dibawanya.

"Tapi nanti Mas sakit, perutnya masih kosong," ujar Lina sambil memegang lengan Marco. Sebagai istri, Lina hanya ingin memastikan suaminya baik-baik saja saat bekerja.

Marco menatap tajam Lina, matanya melirik tidak suka pada tangan Lina yang memegang lengannya. Reflek Lina melepaskan tangannya dan mundur. Tanpa banyak bicara, Marco pergi begitu saja.

Lina menarik napas panjang dan dalam. Marco masih membencinya, belum bisa memaafkan kesalahannya. Tapi mungkin ini konsekuensi yang harus ditanggungnya. Meskipun semua terjadi bukan atas keinginannya. Semua takdir yang tidak bisa dihindari.

"Bun, bekal Nadia udah disiapin belum?" tanya Nadia perlahan. Nadia bukannya tidak melihat kejadian barusan. Tetapi sebagai anak, dia pun tidak pernah dianggap oleh Marco. Hanya tuntutan demi tuntutan yang dia terima, bukan kasih sayang yang seharusnya diberikan.

Lina menghapus air matanya diam-diam. Nadia pura-pura tidak melihat bundanya menangis, dia menyibukkan diri merapikan tali sepatu dan beberapa hal di dalam tasnya.

"Oh, sudah siap, kok! Sebentar Bunda ambil, ya." Lina beranjak ke dapur tanpa melihat putrinya. Dia tidak ingin sisa air matanya terlihat oleh Nadia.

Padahal sejak awal Nadia sudah melihat semuanya. Bukan baru sekali, tetapi sering. Bundanya tidak pernah melawan, bahkan saat menyadari kemungkinan Marco bermain hati di luar sana.

Setelah sempat mencuci muka sebentar, Lina memberikan bekal Nadia—putri semata wayangnya. Seperti tidak ada yang terjadi, Lina memasang senyum termanis, supaya Nadia tidak berpikir macam-macam.

"Makasih, Bun. Nadia berangkat, ya?" Nadia mencium punggung tangan Lina. Lalu memeluknya erat, hanya sebentar.

Nadia ingin menunjukkan kalau Lina tidak sendiri, karena dia selalu ada bersamanya. Meskipun tidak banyak yang bisa dilakukan, tetapi dia siap menjadi pendengar atau menghiburnya.

Lina tersenyum  meskipun rasa haru menguasai hatinya saat itu. Ditekannya habis sedih dan rapuh yang merajai diri. Sehingga terbitlah senyum manis demi Nadia.

Tak dapat terlukiskan bagaimana perasaan Nadia. Pagi-pagi dia harus menyaksikan tindak ketidakadilan Marco ke bundanya. Sudah lama Nadia ingin melawan dan membela Lina. Tetapi selalu gagal, isyarat dari Lina menahannya untuk bertindak, jadi dia hanya bisa diam.

Bersambung

Tak ada satu pun anak yang ingin orang tuanya disakiti. Tetapi kali ini justru ayahnya yang menyakiti.

Perjuangan Nadia nggak akan mudah, Guys.

Thank you for reading. See you on the next chapter.

Kuikhlaskan Kau Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang