"Kak Sultan tahu dari mana gue di sini?" Nadia hendak merapikan rambutnya, tapi baru sadar tangannya masih dipegangi Evan. Menyadari itu dia menoleh ke Sultan yang sedang melihat ke arah yang sama.
"Aah, ini, tadi … Kak Evan yang …." Nadia kehilangan kata karena gugup.
"Lo nggak perlu jelasin apa-apa, Nad. Santai, aja. Oiya, gue sih nggak tahu lo di sini, niatnya malah mau minta bantuan lo. Tapi gue nggak perlu lakuin itu, lo udah di sini."
Nadia masih belum paham benar dengan perkataan Sultan barusan.
"Gue nggak ngerti maksud lo, Kak. Mau minta bantuan gue?"
"Heem. Minta bantuan lo jaga Evan. Tapi lo udah di sini, kan." Sultan memperjelas maksudnya dan disambut anggukan oleh Nadia.
Nadia heran Sultan begitu saja minta ijin ke guru kelasnya. Ampuh benar langsung dikasih, bilang apa saja dia sama guru galak itu?
"By the way, Kak, lo bilang apa sama guru MTK gue?" Nadia penasaran juga apa yang Sultan jadiin alasan.
"Emang penting, ya?"
Nadia menggeleng. "Enggak juga, sih!"
"Kalian berisik banget." Suara serak Evan sontak membuat keduanya menoleh.
"Lo udah bangun? Gimana? Masih pusing?" Sultan langsung memberondong Evan dengan pertanyaan.
"Gue ogah jawab. Lo keluar, deh! Oiya, jangan coba-coba godain Nadia."
Nadia terkejut sampai menjatuhkan ponselnya.
"Wah, lo, Van. Kebangetan sama gue. Gimana gue mau godain, tangan Nadia aja masih lo pegangin, tuh. Udah kayak mau nyebrang jalan, kalian."
Suasana langsung jadi canggung. Nadia menarik tangannya, tapi Evan mempererat genggamannya. Melihat itu Sultan langsung pamit keluar.
"Kak, bisa lepasin tangan gue? Gue mau pulang." Nadia tidak berani melihat wajah Evan. Kejadian tadi benar-benar membuatnya serba salah. Mungkin tepatnya malu dan salting.
Evan melihat pipi Nadia yang mendadak memerah. Melihat gadis di depannya merona membuat Evan harus menahan senyum.
Nggemesin banget lo, Nad. Apa lo juga suka sama gue? Lihat wajah lo memerah bikin gue pengen peluk lo. Hh, apa mau dikata, lokasi tak mendukung.
Evan menghela napas sambil membujuk hatinya untuk lebih tenang dan bersabar.
Saat Evan lebih baik dia keukeuh mau pulang dengan naik motornya. Bahkan bersikeras mengantar Nadia sampai rumah. Sekeras apa pun menolak, Evan ternyata lebih keras kepala.
Sampai di rumah, sambutan tak mengenakkan langsung menemui keduanya. Evan sempatkan pamit lebih dulu baru melajukan motornya lagi.
"Belum juga nunjukin prestasi, udah pacaran. Ingat, kalau prestasinya gitu-gitu, aja, dana bulanan Ayah cabut." Marco berdiri di ambang pintu. Bersedekap dengan muka sinis yang tak asing lagi bagi Nadia.
"Itu tutor Nadia," jawab Nadia seperlunya.
"Wah, lagi banyak duit, kayaknya," sindir Marco lagi.
"Gratis, kok."
"Kamu itu kalo dikasih tahu jawab teruuus." Marco tak pernah mau kalah.
Nadia hendak membuka mulutnya, tetapi Lina muncul, menggeleng lalu memberi isyarat untuk mandi.
"Mas, kopi sama kuenya udah siap di meja makan, ya," sela Lina dengan suara lembut. Dia tidak mau ada perang dingin lagi. Sebisa mungkin mengurangi suasana panas dengan cek-cok pertengkaran.
Tanpa merespon perkataan Lina, Marco meraih kunci mobil lalu pergi keluar. Lina tidak berusaha mencegah, tetapi jelas dia kecewa kopi dan kue yang susah payah dibuatnya, tak tersentuh sedikitpun.
"Nadia aja yang makan, Bun. Alhamdulillah, perut kebetulan lagi lapar," ucap Nadia langsung mencomot kue bola ubi isi keju.
"Eeh, sudah cuci tangan belum? Kan baru pulang," sergah Lina.
"Sudah, dong. Pakai sabun, pula. Nih, wangi." Nadia mengulurkan telapak tangannya.
"Ya, sudah. Pelan-pelan makannya." Lina tersenyum, Nadia menjadi hiburan tersendiri baginya. Entahlah, putri semata wayangnya ini seperti cenayang yang selalu tahu kapan bundanya butuh dihibur seperti ini.
Nadia juga merasa lega, Lina bisa tersenyum lagi. Sempat terbersit keinginan untuk mengajak Lina pergi. Toh, hidup hanya berdua pun mereka bisa bahagia. Meskipun tanpa peran Marco sebagai suami dan ayah.
Namun, segera disingkirkannya ide itu. Lina sangat mencintai Marco. Dengan mengajaknya pergi mungkin akan mengambil kebahagiaannya juga.
***
Baru saja Evan Lexanandra menutup pintu pagar rumahnya. Cukup sulit baginya untuk sampai rumah kali ini, mengingat kondisinya yang baru saja melemah.
"Mas Evan, syukur alhamdulillah sudah sampai rumah. Mbak khawatir tadi." Mbak Sari adalah asisten rumah tangga yang membersihkan rumah, biasanya dia pulang ke rumah saat kerjaan sudah beres. Namun, sekarang dia baru saja diperintah ibunya Evan untuk menginap.
"Saya nggak apa-apa, Mbak. Tolong ambil seragam dari ransel, kalo noda darahnya nggak bisa ilang buang aja, ya," ujar Evan sambil berlalu ke kamarnya.
"Iya, Mas."
Evan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang langsung menelan dirinya dalam kenyamanan. Pikirannya masih berpusat pada Nadia, Evan merasa bodoh keceplosan, minta Nadia untuk menemaninya.
Pandangan mata Evan beralih ke arah meja nakas di samping tempat tidur. Bingkai foto dirinya bersama orang tua. Gambar yang diambil dua tahun lalu, sebelum vonis dokter datang. Setelah itu orang tua Evan banting tulang mencari uang untuk pengobatannya. Tidak sedikit materi yang harus dikeluarkan untuk sekali pengobatan. Oleh karena itu, sekuat tenaga Evan bertahan, demi mereka.
Baru saja hampir terlelap sebuah notifikasi chat masuk. Evan melihat dari siapa pesan itu.
"Nadia?" gumamnya
From Nadia:
Kak, gimana kondisi, lo? Hari ini jadwal tutor kita tunda aja, ya? Lo mending istirahat dulu, deh.To Nadia:
Jangan jadiin sakit gue alasan. Tutor tetep jalan.Evan tersenyum sendiri membayangkan wajah Nadia yang pasti sedang cemberut level maksimal. Tetapi mendingan dia tidur dulu barang satu jam.
To Nadia:
Dua jam dari sekarang, datang ke rumah gue. Bawa bahasan terakhir yang gue kasih.From Nadia:
Iya, Tor.Evan tersenyum puas, menyetel alarm satu jam ke depan lalu terlelap.
Di tempat yang berbeda Nadia kesal, bibirnya sudah maju satu senti.
Bersambung
Kok, sebel ya, aku. Marco kebangetan. Padahal kopi sama kue bola ubi isi keju, enak banget.
Eh, jadi ngobrolin makanan.Alhamdulillah, bisa update lagi. Semoga segera up lagi dan bisa ketemu kalian lagi.
Thank you for reading. See you next.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuikhlaskan Kau Pergi
Teen FictionNadia berjuang mendapatkan prestasi terbaik di sekolah. Tidak mudah karena deraan kekerasan dari Marco (ayahnya). Marco memanfaatkan uang sebagai kelemahan Nadia, selama Nadia masih minta uang padanya, selama itu juga dia harus menuruti semua kemaua...