Chapter 4

255 41 9
                                    

Seperti biasa di hari liburnya, setelah sarapan Kei melanjutkan kegiatannya di rumah. Dimulai dari memisahkan baju-baju kotornya, dan memasukkannya ke mesin cuci. Memvacuum seisi ruangan, merapikan buku-bukunya yang tergeletak disetiap sudut ruangan. Tentunya ia tidak sendiri melakukan kegiatannya. Ya, Kuroo Tetsurou ada disana, membantu Kei mengerjakan semua kegiatannya.

Beep beep

Suara mesin cuci terdengar, menandakan bahwa mesin itu sudah selesai mengerjakan tugasnya. Kuroo mengeluarkan semua pakaian, dan menaruhnya di keranjang. Membuka pintu balkon apartemen Kei, dan mulai menggantungkan pakaiannya disana.

Kei muncul membawa 2 kaleng soda. Ia lalu duduk di sofa, meraih remote tv dan menekan tombol power. Selesai dengan tugasnya, Kuroo menghampiri Kei dan duduk disampingnya. Tidak terdengar suara dari kedua laki-laki itu, hanya terdengar suara presenter variety show di tv.

Kuroo mengambil kaleng sodanya, meneguk isinya. Mata Kei masih fokus pada acara tv didepannya. Kuroo meletakkan punggungnya bersandar pada sandaran sofa. Memposisikan dirinya senyaman-nyamannya.

"Kur, ada yang mau gue omongin sama lo" ucap Kei masih fokus ke tv nya.

Kuroo menoleh ke arah Kei, menggeser sedikit tubuhnya untuk mendekati Kei, dan menaruh kepalanya di bahu Kei.

"Hm, iya, Tsukki. Mau ngomong apa?"

Kei mengepal kedua tangannya, erat. Kuroo yang melihat itu hanya diam, tidak mengatakan sepatah kata pun. Kei menarik nafasnya panjang, dan melepas kepalan tangannya.

"Lo tau kan orang-orang yang ada dibingkai foto itu?" Kei melirik ke arah bingkai foto yang terletak diatas rak bukunya, diikuti oleh Kuroo.

"Uhum"

"Hm, udah 5 tahun ini gue ga ketemu sama orang-orang itu. Ya, semenjak gue tinggal sendiri disini"

Pandangan Kei masih terfokus ke jejeran bingkai foto itu. Kuroo mengangkat tangannya, meraih ujung surai Kei, memilinnya lembut.

"Gue--" belum sempat Kei menyelesaikan kata-katanya, Kuroo membuka mulutnya.

"Sebenernya gue belom bener-bener mati, badan asli gue masih ada di rumah sakit" ucap Kuroo, masih memilin ujung rambut Kei.

Kei yang mendengar ucapan Kuroo, lantas memutar kepalanya untuk melihat laki-laki disampingnya itu. Terlihat jelas raut kebingungan di wajah Kei. Kuroo hanya tersenyum. Ia mengangkat tubuhnya dari posisi sebelumnya, memposisikan duduknya supaya lebih nyaman.

"8 bulan lalu gue kecelakaan. Lo inget tempat yang pertama kali kita ketemu itu? Yup, disitu tempatnya"

Kei membuka matanya lebar. Masih tidak percaya dengan apa yang barusan Kuroo katakan. Kuroo meraih tengkuknya, menggaruknya yang ia rasa tidak gatal.

"Musim panas, gue masih inget banget kejadiannya. Malam itu, gue lagi jalan sama orang yang paling spesial buat gue. Gue ngerasa hubungan kita baik-baik aja sejauh itu, dan malam itu gue ngerencanain buat ngelamar dia. Haha bodohnya gue, gue nggak sadar kalo ternyata hubungan kita nggak baik-baik aja" senyum getir terlihat jelas dibibir Kuroo.

"Lo tau, Tsukki, disaat gue mau ngeluarin cincin yang ada di saku celana gue, dan bilang kalo gue mau nikahin dia, disitu dia mutusin gue" suara tawa terlepas dari mulut Kuroo.

Kei merasakan hatinya tersayat. Bukan karena ia mengetahui bahwa ternyata Kuroo memiliki orang yang spesial dihatinya, melainkan karena ia tahu rasa sakit yang dirasakan Kuroo saat itu.

Kuroo melanjutkan ceritanya. Malam itu sesaat setelah wanita yang ia cintai memutuskan hubungan mereka, Kuroo hanya diam mematung. Melihat punggung wanita itu yang perlahan mulai menghilang, ditelan oleh lautan manusia. Tangannya yang semula erat menggenggam sebuah cincin, perlahan mengendurkan cengkeramannya, membuat cincin yang semula ia genggam terlepas dari genggamannya.

Kuroo yang sadar cincin itu meluncur cepat di jalan, refleks mengejar cincin itu. Sampai akhirnya ia tidak melihat bahwa lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau. Yang ia ingat saat itu, ia sudah tergeletak di jalan. Penglihatannya buram. Namun ia masih bisa melihat jelas cincin yang ada di depan matanya itu. Ia merasakan tubuhnya semakin dingin. Merasakan betapa sulitnya ia memperoleh oksigen yang tidak terbatas.

Pandangannya semakin gelap. Suara sirine ambulans terdengar semakin samar. Sampai akhirnya Kuroo kehilangan kesadaran.

~***~

Malam itu Kuroo terbaring diatas tempat tidur Kei. Kedua laki-laki itu tidur dengan lelapnya. Punggung mereka saling berhadapan. Dalam tidurnya, Kuroo merasakan sakit disekujur tubuhnya. Ia mengeram merasakan tubuhnya yang seperti hancur berkeping-keping. Kei yang terganggu dengan erangan Kuroo, terbangun dan betapa kagetnya ia melihat Kuroo. Tangannya mencengkeram sprei Kei dengan sangat kencang. Kepalanya ia banting-banting ke kanan kiri. Kakinya dengan sekuat tenaga menendang selimut yang semula menutupi tubuhnya.

Kei dengan cepat menepuk-nepuk bahu Kuroo. Memanggil-manggil namanya. Namun ia tidak mendapati respon dari pria itu. Pria di depannya itu masih mengeram kesakitan. Dengan sekuat tenaganya Kei berusaha membangunkan Kuroo. Tangannya yang ramping ia gunakan untuk mengguncang tubuh Kuroo. Sesekali ia menepuk lembut pipi pria itu. Sampai akhirnya Kuroo membuka matanya dan bangkit dari posisi tidurnya.

Nafasnya masih berat. Keringat bercucuran di pelipis hingga ke pipinya. Rambutnya yang aslinya berantakan, semakin terlihat berantakan. Matanya masih terbuka lebar. Kei mengusap lembut punggung Kuroo. Menghapus keringat yang ada di pelipisnya. Mengucapkan kata-kata penenang.

"Kuroo, gue ada disini, lo nggak sendiri. Gue disini"

Kei merasakan tubuh Kuroo mulai tenang. Nafasnya pun sudah mulai teratur. Kuroo memutar kepalanya, melihat ke arah Kei. Ia usap pipi Kei dengan tangannya yang masih bergetar. Kei meraih tangan Kuroo yang masih ada di pipinya. Menggenggamnya erat.

~***~

Di depan lemari pendingin sebuah minimarket, berdiri seorang pria tinggi bersurai pirang. Matanya menjalar melihat isi di dalam lemari pendingin itu. 'Strawberry shortcake atau pudding strawberry?' gumam pria itu. Kei masih memikirkan ingin memilih yang mana. Masih tetap fokus pada objek didepannya itu, Kuroo menepuk bahunya.

"Udah nentuin mau yang mana, Tsukki?"

Kei hanya berdehum. Ibu jari dan telunjuknya masih tergeletak di dagunya. Setelah cukup lama menatap kedua objek itu, Kei memasukkan keduanya ke dalam keranjang.

"Udah yuk ke kasir"

Kuroo dapat melihat ujung telinga Kei yang berubah warna, begitu pun dengan pipinya. 'Manis' hanya itu yang bisa Kuroo deskripsikan.

Kedua pria itu berjalan berdampingan disepanjang jalan. Suhu di kota itu sudah mulai hangat. Matahari bersinar dengan cerahnya. Sampai di depan sebuah taman, Kei menghentikan langkahnya.

"Mau duduk dulu disitu?" Kei menunjuk ke arah bangku taman.

Kuroo menganggukkan kepalanya. Mengikuti langkah kaki Kei menuju bangku itu. Kedua pria itu melihat ke arah yang sama, ke arah sekelompok anak yang sedang bermain di bak pasir. Salah satu anak tengah sibuk menggali pasir, satu anak lainnya sibuk menumpuki pasir-pasir yang sudah terbentuk.

Mata Kuroo beralih melihat ke sisi lain taman. Ia melihat sepasang suami istri dan gadis kecilnya tengah tertawa melihat tingkah hewan peliharaannya. Dalam benak Kuroo, ia mengingat pernah tertawa seperti itu dengan wanita yang ia cinta. Kuroo tersenyum getir, mengingat masa-masa itu.

Kei yang menyadari pria disampingnya sedang melihat pasangan itu, meraih tangan Kuroo dan menggenggamnya. 'Ah pasti Kuroo rindu masa-masa itu' gumamnya.

"Mau pulang?" tanya Kei.

Kuroo yang mendengar suara Kei, menolehkan kepalanya dan mengangguk. Kedua laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan taman itu. Disepanjang jalan hanya terdengar suara langkah kaki mereka.

Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang