1. Awal

7 0 0
                                    


Ada namun tak pernah dianggap.

________________________________


Dibalkon kamar ditemani secangkir coklat panas aku menikmati hembusan angin malam ini, cahaya malam yang tenang buatku sejenak lupa akan masalah hari ini.

"Kapan Tuhan? Aku tak sekuat yang Kau kira, kumohon" hufft ku usap pipiku yang sudah basah. Sudah cukup aku menangis lagi dan lagi.

Aku lelah dengan semua ini. Kapan? Kapan aku diberi kesempatan bernafas lega tanpa beban. Dunia seakan mempermainkanku, mendorongku jauh kelubang yang tak berdasar.

tok tok tok

"Kak dipanggil Ibu disuruh kebawah, cepetan jangan lama." Kia berteriak didepan pintu.

"Iya tunggu bentar Dek, Kakak mandi dulu."

"Bukannya dari tadi kek, lambat banget lo" sahut adek ku.

"Iya maaf, nanti aku nyusul"

Aku menutup pintu balkon, mangambil handuk dan segera membersihkan diri.

30 menit selesai membersihkan diri aku turun ke bawah dengan baju tidur motif panda berwarna biru sambil membawa gelas sisa coklat panasku.

Huftt aku kuat!

"Lama banget si ditunggui juga dari tadi" kata Ibuku ketika lihat aku turun dari atas.

Kulihat dia sekilas "Bentar Bu, mau cuci gelas" ucapku sambil berjalan kedapur mencuci gelas tadi dan meletakakan di rak.

Kususul Ibu yang duduk diruang keluarga "Maaf Bu Adel mandi dulu tadi, kenapa Bu?"

"Inikan hari Sabtu ya? mana uang gajian kamu?" hufft udah aku duga.

Dia menyalakan TV dan melirikku sekilas "Banyak yang mau dibayar bulan ini. Liistrik, air, sekalian SPP si Kia juga belum, arisan Ibu juga" kata ibuku sinis.

Aku menyeringit heran. Bukannya minggu kemaren aku ngasih uang ke Ibu ya kok banyak banget pengeluarannya, duitku gak bakal cukup ini.

"Loh uang minggu lalu kan udah Adel kasih buat bayar SPP Kia sama listrik ke Ibu. Adel cuma ada ini" kukeluarkan uang 800ribu dari dompetku .

"Adel cuma kerja dicafe minggu ini, warung Pak Adi enggak buka seminggu pulang kampung katanya" lanjut ku.

"Uang minggu lalu buat ibu beli tas baru Del" ucapnya dan mengambil uang yang kuletak dimeja.

Aku menghela nafas . Selalu saja, mati-matian aku kerja malah dihambur-hamburkan.

Dihitungnya uang itu lalu ia menatapku tajam. " Loh gaji kamu yang dicafe kan 1 juta kok cuma kamu kasih 800ribu sih, 200ribunya kemana haah?" Ini yang kutakutkan, bakal terulang lagi sepertinya.

Aku menatapnya "200ribunya buat pegangan Adel Bu, Adel gak punya duit lagi. Kan duitnya udah adel kasih ke ibu semua minggu lalu." Iya benar aku memang gak punya duit lagi, aku kerja pagi sampai malam untuk biayain keluarga ini, tapi mereka memperlakukan seperti babu. Tidak ada yang menganggapku, mereka cuma butuh uangku saja.

Ia mendengus. "Banyak banget si Del. 100ribu kan cukup, kamu masih gadis gak perlu uang banyak! Sini 100ribu itu!" perlu Bu, 200ribu bahkan kurang untuk keadaan Adel saat ini. Sayang itu cuma bisa ku unggakapin dalam hati.

Kuserahkan uang yang seharusnya menjadi jatahku minggu ini. "Yaudah Bu ini, Adel pegang 100ribu aja gapapa" pasrah, itu yang harus aku lakuin saat ini.

Ia tersenyum sinis. "Gitu dong, jadi anak yang berguna biayain keluarga" ucapnya dan langsung pergi kekamar

Kuhiraukan ucapannya dan melihat TV yang menyala, mengambil remot dan mencari tayangan menarik untuk kutonton. "Ah acara yang membosankan, sama seperti hidupku." Kutekan tombol mati.

Menghela nafas kuat. Huuft

menyandarkan badanku ke kursi dan menutup mata guna menguatkan diri

Harus kuat itu yang mesti ku lakuin sekarang, meskipun untuk saat ini memang bener-bener berat.

Oh iya hai kalian, namaku Adelia Pertiwi umur 20 tahun, disaat gadis seuisiaku harusnya menikmati masa muda dan kuliah aku harus dituntut membiayai kebutuhan keluarga. Ibuku Anindi hanya bisa menghabiskan uangku. Hendra Purnama Ayah ku seorang penjudi dan hanya pulang kerumah jika ia membutuhkan uangku, sedangkan adikku Askia Delina masih pelajar SMA dia sangat membenciku entah karena apa.

______________________________________________


Saat ini aku dikamar memikirkan cara mencari uang lagi, 100ribu sangat kurang untuk aku saat ini banyak yang aku butuhkan. Bagaimana harus aku bertahan? Tuhan tolong aku.

tok tok tok

"Kak buka, gue mau masuk cepat!" ah adikku ternyata.

"Iya bentar" aku turun dari kasur dan buka pintu.

Dia menatapku sejenak dan menyerahkan bajunya ketanganku. "Nih setrikain baju gue cepetan, besok gue mau jalan sama temen."

Aku melihat bajunya ditanganku. "Kakak capek Dek, setrika sendiri aja ya?"

Dia menatapku sengit "Ah gak guna lo jadi kakak." Aku terkejut mendengarnya.

"Pokoknya setrikain yang rapi, gak mau tau gue!" sahutnya dan keluar kamarku.

Bruakkkk

Kutatap pintu yang ditutupnya dengan kuat. Huuuh, Akhirnya aku harus mengalah lagi dan lagi.

Padahal aku ingin beristirahat malam ini karena tubuhku sejak siang terasa sedikit sakit, tapi selalu saja ada yang mengganggu.

Berjalan mengambil setrika dan menatanya di meja, kusetrika baju adikku sesuai permintaannya.

Tiba tiba dadaku sakit tak tertahan "Aduh sakit." Kutekan dadaku untuk menghalau rasa sakit ini tapi malah semakin menjadi sakitnya.

"Aww, sakit sakit sakit."

"Kumohon jangan sekarang."

Oh Tuhan ku coba berjalan tertatih mengambilobat ditas, kakiku mati rasa dan kurasa badanku terjatuh kelantai. Kulirik bajuadikku yang sudah pasti rusak. Mataku semakin terasa berat Ya Tuhan tolong ini sakit sekali, tolong jangan saat ini ku mohon Tuhan.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secarik SempatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang