Bab 1 : Luna

23 5 2
                                    

Malam itu hujan yang sangat deras mengguyur kota Jakarta, sekarang sudah tanggal 4 Januari namun hujan tidak pernah berhenti membasahi Jakarta. Hampir setiap hari hujan, terkadang hujan gerimis, terkadang hujan deras.

Bagi orang-orang yang tinggal di perumahan elit seperti Taman Menteng, tidak perlu mengkhawatirkan banjir, namun berbeda dengan orang-orang seperti Luna, sepanjang hari tetangganya terus mengeluh karena banjir, ibu-ibu yang memarahi anak-anaknya yang asyik berenang di air kotor, dan bapak-bapak yang heboh menyalahkan kinerja pemerintah.

Setiap hari daerah itu tidak pernah tenang, entah itu musim kemarau atau musim penghujan, semuanya terasa sama saja bagi Luna. Di daerah itu lah dia tinggal dan tumbuh besar berdua bersama ibunya.

Ayah Luna baru saja meninggal belum lama ini, dan hari ini adalah hari peringatan 40 hari kematiannya. Ayah nya sudah menjadi seperti pahlawan dalam hidup Luna. Keluarga Luna bukanlah keluarga yang berkecukupan, mereka sudah terbiasa diusir dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain, seperti berkelana, hampir tiap sudut terkecil kota Jakarta ini sudah mereka cicipi. Walau begitu, rumah yang mereka tempati selalu terasa hangat bagi Luna dengan kehadiran sosok ayah disana.

Meski ayahnya tidak bisa memberikannya fasilitas yang baik seperti teman-temannya, namun beliau selalu mencari cara untuk membuat Luna bahagia, karena itulah Luna paling menyayangi ayahnya meski hanya bekerja serabutan. Terkadang sebagai kuli bangunan atau pengepul sampah.

   Berbeda dengan ibunya, ibunya sering mengeluhkan kemiskinan mereka kepada suaminya. Ibunya sering keluar malam-malam dan kembali dalam keadaan mabuk, entah atas alasan apa, tapi ibunya sangat membenci Luna, setiap melihat gadis itu hal pertama yang ia lakukan adalah melempar. Entah melempar barang atau melempar Luna. Disaat seperti ini hanya ayahnya lah yang bisa menyelamatkan Luna.

   Orang-orang di sekitar sering mengatakan kepada Luna bahwa ibunya adalah wanita gila. Jika tidak karena ayahnya, mungkin saat ini Luna sudah mati ditangan ibunya, karena jangankan menyayangi dan merawat Luna, bahkan jika ibunya mengingat pernah mengandung anak itu saja sudah cukup membuatnya muak hingga rasanya ingin muntah.

Tapi Luna tidak pernah berhenti menyayangi dirinya sendiri, karena ayahnya yang selalu membuktikan kepada Luna bahwa masih banyak alasan Luna untuk hidup di dunia ini. Meski di dalam lubuk hatinya yang terdalam satu-satunya alasan untuk ia hidup sebenarnya hanyalah ayahnya.

Mungkin Luna bisa menyetujui apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai ibunya yang akan membunuhnya jika ayahnya tiada. Terhitung sebulan lebih semenjak kecelakaan yang menimpa ayahnya sehingga membuat ia harus bertemu Yang Maha Kuasa terlebih dahulu, Luna sudah mendapatkan banyak luka lebam di tubuhnya. Ibunya menjadi semakin gila tiap harinya, bukan gila karena kehilangan suami, namun gila karena dihadapkan kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi orang yang bisa memberikannya uang, dan kenyataan bahwa ia kini harus merawat anak yang ia benci yaitu Luna.

   Ibunya sering keluar rumah dini hari dan pulang pada malam hari dalam keadaan mabuk. Malam hari selalu menjadi malam yang panjang bagi Luna. Menghadapi ibunya yang gila. sudah sangat membuat dirinya sendiri juga menjadi gila. Ibunya sering berteriak "Mati! Mati!" dengan mata merah dan rambut panjang yang acak-acakan.

Luna sudah lelah menangis sepanjang malam, meski ibunya sering memukulinya dan menyuruhnya mati, namun tidak pernah sekalipun wanita itu bersungguh-sungguh untuk membunuhnya. Padahal Luna berpikir tidak apa jika ia benar-benar mati, toh tetangganya juga tidak akan peduli sehingga pasti ibunya masih bisa berkeliaran bebas meski telah membunuh anaknya.

Dan disinilah ia saat ini. Dibawah hujan deras yang menusuk-nusuk kulitnya. Hari ini tepat 40 hari peringatan kematian ayahnya. 40 hari semenjak pahlawannya direbut dari hidupnya. Luna sedang berlari seorang diri, nafasnya menderu-deru. Suara tangisnya tertutup oleh suara hujan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memerhatikan dengan mata minus, apakah wanita itu mengejarnya? Apakah wanita itu sadar bahwa ia sudah berlari sejauh ini? Lututnya berdarah-darah.

Caramel Milk Tea (Kim Namjoon's Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang