Sungguh hari yang sangat melelahkan. Jika Nica tau akan seperti ini, pasti ia tidak menolak tawaran Selly untuk pulang bersama.
Setelah perdebatan dengan manusia aneh tadi, kini Nica berjalan sedikit tergesa-gesa menyusuri gang rumahnya. Karna jam sudah menunjukkan pukul 18.00.
Ketika sampai di sebuah rumah dengan pintu bercat hitam, Nica pun menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan berharap semua akan baik-baik saja.
"Huh"
Dengan langkah sedikit mengendap-endap ia memasuki rumah. Ia mendapati seorang wanita paruh baya tepat berdiri didepan pintu, sepertinya wanita itu memang sengaja menanti kepulangannya. Namun, yang membuat Nica menahan nafas adalah sebuah benda panjang itu lagi.
PLAK!
Satu pukulan rotan tepat mendarat di lengan kanan Nica yang membuat gadis itu meringkis kesakitan.
"Dasar anak tak tau diri! Anak perempuan bisanya kelayapan, pulang sore, basah-basah, abis dari mana saja kamu? Dasar anak pembawa sial! Jam segini
baru pulang, mau dikasih pelajaran?" teriak bunda Nica.PLAK! PLAK!
Untuk ketiga kalinya pukulan itu mendarat di lengan kanan Nica. Kali ini Nica sudah menangis, cairan jernih yang sedari tadi ia bendung kini tak sanggup lagi untuk ditahan. Begitupun dengan darah segar yang perlahan menetes dari lengannya.
"Sa-sakit, bun" lirih Nica
Jangan heran, ini suatu hal biasa bagi Nica. Pukulan itu bak makanan Nica sehari-harinya. Bukan sekali dua kali, tapi setiap hari.
___
Setelah mandi dan bersih-bersih, Nica duduk di balkon kamarnya dengan memegang sebuah buku dan pulpen.
Luka di lengannya? Nica tak mengobati luka itu. Buat apa diobati jika besok luka itu akan basah lagi.
Dear diary...
Sampai kapan aku harus seperti ini?
Sampai kapan derita ini mengurungku?
Sampai kapan rasa sakit ini harus kurasakan?
Sebegitu tak pantaskah diriku untuk kata bahagia itu, Tuhan?Kini cairan bening itu sudah membentuk sungai kecil di pipi nica dan membasahi sedikit buku diary-nya.
"Kakak" panggil seorang gadis kecil, mata bulatnya tampak mengerjap pelan.
"Centika, kamu belum tidur?" Nica menepis air matanya dan mengukir senyum tipis.
"Kakak nangis lagi?" bukannya menjawab, Centika justru balik bertanya dengan wajah sendu.
Nama gadis kecil itu Centika Putri Giorgino, adik dari seorang Nica. Gadis kecil itu selalu, bahkan sangat sering melihat kakak nya menangis seorang diri, tapi Centika tak pernah tau apa sebabnya. Tentu saja! Seorang anak kecil nan lugu mana tau lika-liku kehidupan yang kejam ini. Centika sekarang yang masih berumur 3 tahun.
"Nggak pa-pa kok, kakak nggak nangis. Sekarang Centika tidur, udah malam" ucap Nica mengalihkan fokus sang adik.
"Nggak mau! Centika mau main sama kakak dulu" rengek Centika.
"Centika, udah malem, nanti kena marah bunda. Besok pagi kita main, ya" ucap Nica memegang lembut tangan Centika dan mengantarkan adik kecilnya itu ke kamar.
Setelah menidurkan sang adik. Nica merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur miliknya "Selamat malam dunia! Semoga hari esok lebih baik" ujar Nica sembari tersenyum tipis. Kata-kata itu yang selalu diucapkan Nica sebelum menutup mata. Berharap semua lebih baik. Sebuah harapan sederhana yang selalu dipatahkan realita atas kejamnya dunia.
Perlahan mata Nica tertutup, mulai masuk ke dunia mimpi dan melupakan sejenak apa yang baru saja terjadi. Mungkin Nica sedikit lelah karena kehujanan tadi. Sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas dalam pikirannya.
"Siapa dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Nica✓
ChickLitSeberapa banyak luka yang didapatkan, sebenarnya bukan menjadi tolak ukur rasa sakit. Namun, siapa orang yang menjadi penyebab luka itulah yang menjadi pembunuh mental paling kejam. Kisah seorang gadis yang bernamakan Annisa Lauren Giorgino, ah rala...