Bab 1

424 29 12
                                    

Part ini ditulis oleh febripurwantini

Hari ini menjadi salah satu hari bersejarah untuk Reva

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini menjadi salah satu hari bersejarah untuk Reva. Gadis itu sejak lama merasa direndahkan orang-orang di sekitarnya. Perkataan mereka terasa bagaikan pedang yang menusuk hati. Harusnya dia sudah mulai terbiasa, tetapi kenyataannya tidak. Setiap hinaan yang ditujukan untuknya justru membuat luka di dalam hati kian menganga.

Tidak terhitung sudah berapa kali Reva mendengar orang lain menyebutnya sebagai anak haram, anak tidak berayah, dan sebutan lain yang memanaskan telinga. Seperti siang ini ketika langkahnya menuju kantin dihalangi oleh Prita, yang diketahuinya penghuni kelas sebelah.

"Dasar, anak haram! Mulai ngelunjak, ya?"

Prita mengulang kalimatnya kembali saat Reva tidak menanggapi dan melengos darinya. Reva menghela napas. Di sini berita kecil tentang seseorang cepat sekali menyebar. 

Mungkin julukan yang disematkan untuknya benar. Selama ini, Reva tidak pernah mengenal ayahnya. Selembar foto pun ia tak punya. Bahkan ia tidak ingat apakah Ibu pernah menyebut-nyebut tentang Ayah. Ibu selalu mengatakan bahwa cintanya untuk Reva begitu berlimpah hingga seharusnya ia tidak lagi mencari cinta yang lain. Reva menganggap kalimat Ibu sebagai isyarat agar ia tidak mencari tahu sosok ayahnya.

"Woi, beraninya main telikung cowok orang. Nggak tahu malu, ya?"

Reva mengernyitkan kening. Ia baru paham kenapa sejak kemarin Prita selalu cari perkara dengannya. Rupanya semua ini gara-gara Adam yang berusaha menarik perhatiannya. Cowok playboy itu beberapa kali menyapa dan mengajaknya jalan-jalan. Meskipun Reva sudah menolak secara halus, tetapi Adam tidak mau berhenti mengganggunya.

"Ternyata, kelakuan bisa nurun, ya? Kalau ibunya perempuan murahan, anak gadisnya juga!"

Reva terkesiap. Tahun demi tahun berlalu, Reva lebih memilih bungkam. Dulu, ia hanyalah gadis kecil yang tidak sanggup melawan seisi dunia. Apa yang bisa dilakukannya selain diam?

Namun sekarang, ia bukan anak kecil yang bisa dipermainkan orang seenaknya sendiri. Reva membalikkan badan. Kini ia menghadap sepenuhnya ke arah Prita. Tatapannya terkunci pada mata Prita yang membelalak kaget.

"Ngomong apa kamu barusan?" desis Reva sembari berjalan perlahan mendekati Prita.

"Kelakuanmu ..."

Kalimat Prita tercekat di tenggorokan. Tampilannya tidak segarang tadi. Rona kemerahan wajahnya mulai memudar setiap langkah Reva makin mendekat.

"Kamu ... ngomong apa?!" bentak Reva tiba-tiba yang membuat sekujur tubuh Prita kehilangan daya. Namun, pantang bagi Prita untuk balik badan. Gadis itu menegakkan tubuhnya yang sempat limbung. Ia menelengkan kepala dan memunculkan senyuman sinis.

"Benar, kan? Kamu itu keturunan perempuan murahan. Pantas saja kalau sekarang kamu meniru kelakuan ibumu. Dasar, cewek ganjen!"

Reva memejamkan mata sesaat. Terik matahari di atas kota Yogyakarta turut membakar hatinya yang sejak tadi terasa ngilu. Darahnya menggelegak mencapai ubun-ubun.

Tentang RevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang