Bab 15

169 12 2
                                    

Part ini ditulis oleh febripurwantini

Part ini ditulis oleh febripurwantini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dasar, cowok sinting!"

Reva menggeleng berulang kali, masih tidak percaya jika selama ini ia telah ditipu mentah-mentah oleh cowok yang otaknya korslet ini.

"Memang. Kewarasanku udah menguap sejak lama."
Tio tersenyum miring. Entah kenapa sorot matanya terasa dingin dan hampa. Reva terhenyak. Kekesalannya sedikit mereda melihat Tio saat ini, justru rasa penasaran dan sedikit simpati yang menguasai hatinya.

"Oke," Reva melirihkan suaranya. "Kamu pasti punya alasan sampai membohongi semua orang. Atau jangan-jangan semua orang udah tahu kecuali... papamu?"

Tio terpaku di sisi tempat tidur. Tatapannya menerawang jauh ke balik jendela kamar. Reva tidak ingin mengusiknya. Ia mengempaskan diri di kursi yang berada di dekat tempat tidur. Sembari menunggu jawaban Tio, ia mencuri-curi pandang ke arah cowok itu.

Menurut taksiran Reva, usia Tio tidak jauh beda dengannya. Mungkin sedikit lebih muda darinya, tetapi Reva tidak tahu pasti. Matanya bulat di bawah alis tebal. Hidungnya cukup mancung menaungi bibirnya yang penuh. Secara umum, cowok itu memiliki wajah lumayan tampan. Hanya saja, wajahnya yang pucat membuatnya terkesan lemah dan tidak punya gairah hidup.

Alasan apapun yang membuat Tio berakting sakit memang tidak bisa dibenarkan. Namun, Reva pikir dengan mengetahui hal itu mungkin ia bisa sedikit membantu. Setidaknya, ia berharap Tio bisa mengakhiri drama yang dilakukannya selama berbulan-bulan ini.

Reva berdeham pelan. Ia tidak ingin mendesak Tio lebih jauh lagi. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Tio sembari mengusap-usap tangan.

"Tio, dunia nggak selamanya buruk, kadang juga indah jika kita mau melihatnya dari sisi lain. Kamu enggak bosan di kamar terus?"

Tio masih bungkam. Ia merangkum jemarinya di pangkuan. Reva berdiri di depan jendela, mengamati suasana cerah di luar.

"Cuacanya enak buat jalan-jalan, nih. Jalan, yuk! Mumpung papamu belum pulang."

Tio terperangah karena tidak siap dengan ajakan Reva. Gadis itu memiliki senyuman yang merekah seperti mentari pagi, kadang begitu menyilaukan hingga Tio ingin bersembunyi darinya.

"Masih malas ngomong? Nggak apa-apa, kok. Nanti kamu dengerin aja aku cerita. Aku punya banyak kisah seru yang bisa kubagi denganmu."

Seperti sebelumnya, Reva mengoceh sendirian di hadapan Tio yang hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Lagian apa sih enaknya di rumah terus? Kita pergi diantar sama Pak Dono aja. Nanti kalau udah mulai capek, kita langsung pulang. Oke?"

Tio masih bergeming di tempatnya. Namun, bukan Reva kalau tidak punya seribu satu cara untuk membujuknya.

Tentang RevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang