Bab 6

207 17 2
                                    

Part ini ditulis oleh meilan85

Reva terus menimbang keputusan yang harus segera diambilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Reva terus menimbang keputusan yang harus segera diambilnya. Entah mengapa ia mulai meragukan hatinya sendiri. Mungkinkah karena keinginannya melanjutkan kuliah membuatnya sedikit goyah.

Dua hari berlalu semenjak pertemuannya dengan Haris Erlangga, ayahnya, ternyata masih menyisakan banyak tanda tanya yang terus membuatnya bertanya. Terutama tatapan Haris selama pertemuan itu, Reva tidak bisa menyangkal kalau banyak sekali kerinduan terpancar disana.

Benarkah ia begitu dirindukan? Lalu mengapa setega itu mengabaikan dan membiarkan Ibu terus mengunci diri dengan rasa sakit hatinya. Tidak adakah upaya untuk meluluhkan hati Ibu, untuk sekadar bisa bertemu dengan anaknya?

Serbuan pertanyaan yang kadang menyudutkan, menyalahkan, dan menolerir sikap Ibu terus berdatangan tumpang tindih, membuat Reva terus kehilangan jam tidurnya. Denyut di kepala yang dirasakan sudah merupakan pertanda kuat kalau matanya perlu tidur yang berkualitas. Namun, ia tidak bisa mengenyahkan semua pikirannya barang sedetik. Reva terus gelisah memilih antara bertahan dan menyerah ikut dengan Ayah.

Segala sesuatu perlu pengorbanan, Rev. Bagian dirinya seolah memberikan nasihat saat Reva bercermin. Jika setiap keinginan selalu didapat dengan mudah, lalu apa arti sebuah perjuangan? Reva menekap wajahnya.

Jika benar yang harus kamu panggil ayah itu bertanggung jawab, mengapa setelah kamu besar baru datang? Menawarkan jasa di atas luka yang selama ini dia tebar? Bagian dirinya yang lain memberotak. Percakapan yang membuat Reva mual dan kepalanya semakin berdenyut.

"Rev...," suara Bude terdengar diiringi ketukan pelan di pintu kamar.

Reva yang masih berdiri di depan cermin menoleh ke arah pintu. Kakinya spontan melangkah mendekat, lalu tangan kanannya menarik gagang pintu.

"Makan dulu," tatapan Bude penuh kekhawatiran, "dari pagi kamu tidak makan apa pun selain minum air putih. Itu tidak baik, Reva."

"Iya, Bude."

Bahkan nafsu makan Reva pun ikut-ikutan lenyap. Ia akan makan kalau Bude sudah memintanya dengan setengah memaksa.

"Jangan biarkan dirimu kalah, ayo makan!" Suara Bude sudah berubah perintah.

"Iya, Bude," Reva anggukkan kepala kemudian mengikuti langkah Bude menuju dapur. Sepanjang Reva makan, Bude terus menemani seakan takut kecolongan Reva pura-pura makan.

"Kalau boleh Bude sarankan, ambil keputusan bijaksana. Tidak ada yang memaksa, kamu mau tetap di sini bersama kami, Bude sama Pakde sama sekali tidak keberatan. Hanya saja kamu mungkin harus lebih berhemat dari sebelumnya, sementara jika ikut ayahmu setidaknya tugasmu hanya belajar dan bahagia."

Reva tersenyum tipis, kata-kata terakhir Bude telah menggelitik hatinya. Kepalanya mengangguk tanda setuju.

"Pakde dan Bude hanya ingin terbaik buat kamu, Rev."

Tentang RevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang