1

13.1K 1.1K 13
                                    

Langit di atas sana masih nampak biru. Biru yang sama seperti satu tahun kemarin. Banyak sekali yang terjadi dalam tiga tahun terlewat.

Dulu, aku selalu menyukai warna langit. Sekarang pun masih. Namun aku tidak menyukai kenangannya. Kenangan yang menggoreskan luka, yang entah kapan bekasnnya akan hilang.

Tiga tahun yang lalu di tempat ini, tepatnya dua puluh meter dari tempatku berdiri, aku pernah memberikan seluruh milikku pada seseorang. Seseorang yang pada akhirnya hanya menebarkan duri tajam yang mengoyak hatiku.

Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam ketika tiba-tiba ingatan itu menyerbu, menyesakkan dada. Tiga tahun berlalu dan aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ia menyentuhku, membuaiku dan membuatku menyerahkan keperawanan dengan suka rela.

Aku melihat bayangannya ketika perlahan membuka kembali mataku. Sial! Kenapa dalam bayanganku ia berubah makin tampan dengan kemeja biru laut dan bagian lengan digulung sampai ke siku?

Ia berjalan mendekat. Matanya menatapku lekat.

Tidak! Ini hanya halusinasi saja!

Tanpa sadar aku melangkah mundur.

"Akhirnya kamu datang, Cinta?"

Kalimat tanya itu berdengung di telingaku seperti suara puluhan kumbang.

Halusinasi ini seperti nyata.

"Aku merindukanmu," kehangatan pelukan itu menyentakkanku.

Ini bukan halusinasi! Ini nyata! Ya Tuhan, ampuni aku yang bisa-bisanya masih merasakan rindu.

Dengan gemetar aku mendorong tubuh liatnya. Ia hanya sedikit menjauh. Sebentar. Lalu ia merengkuhku lagi.

"Jangan pergi lagi," bisiknya parau.

Aku mulai terisak.

Ia buru-buru merenggangkan pelukannya dan menatapku.

"Maaf. Maafkan aku," bisiknya pelan.

Hatiku sakit mengingat apa yang sudah ia lakukan. Harga diriku terluka. Aku seperti barang yang dipertaruhkan demi sebuah motor besar.

Ingatanku lari pada kejadian tiga tahun yang lalu. Di sana, di sebuah pondok mungil yang dibangunnya untuk kami.

Flash back...

Usai pergumulan yang kami lakukan, ia tengah membersihkan diri di kamar mandi ketika ponselnya berbunyi. Kugeser ikon hijau diponselnya, bermaksud memberitahu si penelepon bahwa yang ia cari sedang mandi. Tapi sebelum aku membuka mulut, suara di seberang sana membuat jantungku seperti direnggut paksa.

'Woii Van, bagaimana rasa tubuh Andini? Nikmat? Motor itu menjadi milikmu. Bagaimana? Berbisnis denganku menguntungkan bukan? Kau mendapat pemuas nafsu gratis, dapat motor gratis pula!'

Kakak tiriku begitu ingin menghancurkanku, menyuruh Revan mengambil keperawananku dengan imbalan sebuah motor besar!

Tanpa kata, kumatikan teleponnya. Hatiku sakit. Nyerinya hingga sampai menembus setiap sel darahku.

Doni memang tidak pernah menyukaiku. Sejak ibunya menikahi papaku, ia sudah menunjukkan ketidak sukaannya. Aku tidak tau apa salahku.

Tanpa menunggu Revan keluar dari kamar mandi, aku bergegas menyambar tas-ku, mengenakan pakaianku kembali dan berlari meninggalkan pondok yang menjadi saksi bagaimana aku menyerahkan diriku atas nama cinta untuk Devan yang ternyata menjalin hubungan denganku demi sebuah motor besar.

Flash back off.

"Please Andin, jangan pergi lagi. Hukum aku, tapi tolong, jangan tinggalkan aku lagi," ujarnya mengiba.

Laki-laki yang dulu bertubuh tinggi besar itu kini nampak kurus. Tubuhnya jadi terlihat lebih jangkung.

Perlahan kudorong dadanya dengan kuat, hingga ia melepasku nampak tidak rela.

"Aku kemari karena ingin berdamai dengan masa lalu, selain menghadiri pemakaman Mama Irma," sahutku menunduk.

"Aku menyesali semuanya Andin. Please, kembali padaku."

Aku ini bebal dan bodoh. Bagaimana bisa aku tetap merindukan dan mencintai Revan selama tiga tahun menjauh darinya? Seharusnya aku sadar diri. Revan tentu tidak akan lebih memilihku dengan tubuhku yang tidak tinggi, cenderung gemuk dan wajah yang nyaris tidak tersentuh make up. Bodohnya lagi, aku mempercayai pernyataan suka Revan dan terhanyut dalam rayuannya.

.

=====

.

Kembali ke rumah berarti kembali menghadapi kesinisan dan kebencian Doni. Jika bukan karena permintaan Papa yang menginginkan aku pulang dan bertepatan dengan kabar yang kuterima bahwa Mama Irma meninggal, aku tentu masih betah menikmati kesendirianku di sebuah kota kecil di Jawa Timur.

Mama Irma adalah mama kedua bagiku. Ia adalah seorang pengurus panti asuhan milik almarhumah Mamaku. Kebetadaannya memberi kekuatan tersendiri. Terutama saat aku terpuruk. Aku bahkan sempat berandai-andai jika Papa tidak menikahi ibu Mayang tetapi Mama Irma.

Sebenarnya, Ibu Mayang bukanlah seorang yang jahat. Ia sudah berusaha menjadi seorang ibu yang baik untukku. Namun karena putranya tidak menyukaiku, maka aku lebih memilih untuk tidak terlalu dekat padanya. Untuk itulah pada akhirnya aku lebih suka berada di panti bersama Mama Irma.

Selama tiga hari ini, aku hanya bertahan semalam berada di rumah. Selebihnya, aku lebih suka tinggal di panti asuhan. Ya, aku memiliki kamarku sendiri di sini.

Dalam wasiat Mama, ia memberikan panti ini untuk kukelola bersama Mama Irma. Tapi sekarang, setelah Mama Irma meninggal, tanggung jawab itu beralih padaku meskipun masih ada Bunda Mia, Bu Tia dan Bu Ratih yang membantuku.

"Kak Andin, ada Kak Revan di depan," suara lucu Nindi membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum mengusap kepalanya.

"Terima kasih Nindi," kukecup pipinya yang gembil. Usianya masih lima tahun. Ia lincah dan cantik. Matanya bulat bening.

Aku mengikuti langkah kaki mungil Nindi yang menggandengku ke taman bermain di belakang panti. Nindi melepaskan tanganku dan menghambur menuju perosotan, dimana anak-anak panti lainnya tengah bermain di sana.

Revan tengah tersenyum mengamati polah tingkah anak-anak itu. Ia menoleh padaku ketika Nindi melintas melewatinya. Tubuhnya menegak. Ia beranjak dari duduknya, melangkah mendekat.

"Cinta," panggilnya begitu ia dekat.

Aku menunduk, menata hatiku. Berusaha menetralkan jantungku yang bertingkah tidak tau malu, berdentum-dentum bak parade marching band.

Revan meraih tanganku dan menggenggamnya. Kuangkat wajahku dan mata kami bertemu.

Aku takut ini hanya halusinasi. Tidak mungkin Revan punya rindu untukku. Tapi apa arti sorot matanya jika bukan rindu?

"Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan," ujarnya. Matanya bersinar penuh harap. Dan aku terlalu lemah untuk menolak. Bukankah aku sudah bertekad untuk berdamai dengan masa lalu?

.

.

Bersambung 🌹🌹🌹🌹🌹

Luka Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang