Hari ini, satu bulan setelah kejadian di gudang itu, aku dan Revan akhirnya resmi menikah. Sebuah pernikahan sederhana, namun penuh kesakralan. Namun perasaan bahagia yang kurasakan tidaklah sempurna. Meskipun Ibu tersenyum mendampingi Papa, tapi aku tau, hatinya sedih karena Doni harus mendekam di penjara untuk waktu yang lama.
Seluruh perbuatannya terbukti. Pelanggaran hukum yang ia lakukan sangat fatal. Kecelakaan yang Mama alami, yang berujung kematian, dianggap sebagai pembunuhan terencana. Ibu sempat pingsan saat keputusan dibacakan.
Tidak ada perlawanan dari Doni. Ia mengakui semuanya. Bahkan saat kami mengunjunginya di penjara, ia tidak mau bertemu. Ia hanya menitipkan surat untuk Ibu pada petugas. Aku tidak tau apa isi surat itu. Ibu menyimpan semuanya sendiri.
Aku masih berdiri menghadap jendela ketika tangan Revan melingkari perutku dan membuatku berjingkat kaget.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Ini hari bahagia kita," bisik Revan.
Kusandarkan punggungku ke dada bidangnya, tanganku merangkum tangannya yang bertaut di perutku.
"Revan," panggilku pelan. Aku ingin menanyakan satu hal yang selalu tertunda sejak sebulan yang lalu.
"Hmm?"
"Bagaimana kamu bisa mengetahui tempat dimana Doni membawaku sebulan yang lalu?" Aku benar-benar penasaran.
"Kamu pernah meninggalkan ponselmu padaku ketika aku melamarmu. Ingat?" Revan mengecup puncak kepalaku.
Aku mengangguk. Aku menitipkan ponselku karena membantu Ibu Mayang mengeluarkan suguhan makanan ringan dan minuman untuk keluarga Revan.
"Ponselmu belum terkunci. Jadi aku sengaja menghidupkan lokasimu dan menyambungkannya dengan ponselku. Saat di butik itu, aku mendengar teriakanmu, namun aku terlambat. Doni sudah membawamu dengan mobilnya. Lalu aku menghubungi polisi dan papamu. Kami bertemu di lokasi dekat gudang tempat ia membawamu," kecupan Revan di pelipisku menyudahi penjelasannya.
Kupejamkan mataku, kembali berucap syukur karena Tuhan memberikan jalan untukku terlepas dari kekejian Doni.
"Dan.... kenapa kamu terpikir untuk melakukan itu?" aku berputar menghadap pada Revan.
"Sebenarnya semua itu aku lakukan karena aku takut kehilanganmu lagi. Aku takut kamu meninggalkan aku lagi seperti tiga tahun yang lalu. Aku tidak tau keberadaanmu. Aku benar-benar kalut saat itu," Revan mendorong pinggangku lebih merapat padanya.
"Aku sudah menerima lamaranmu waktu itu. Mana mungkin aku pergi lagi?" kernyitku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Kita baru selesai bercinta dengan hebat ketika dulu kamu meninggalkanku, Cinta," Revan mengingatkan.
Aku terpekur.
Ya, saat itu aku bahkan tidak menunggu penjelasan Revan. Hatiku terlanjur sakit.
Daguku diangkat oleh Revan. Pandangan kami saling bertaut. Ia mendekat, menyentuhkan keningnya ke keningku. Matanya memejam dengan hembusan nafas berbau mint yang tercium jelas olehku.
"Memelukmu seperti ini, rasanya seperti mimpi. Tiga tahun lamanya aku berkubang dalam mimpi-mimpi buruk setiap malam. Ketakutan oleh pikiran-pikiran buruk akan kemungkinan yang bisa saja terjadi padamu. Aku takut kamu melupakanku. Aku terlanjur mencintaimu dan menaruh harapan yang sangat besar pada hubungan kita."
Perlahan aku ikut memejamkan mata. Rasa nyaman itu kini pelan-pelan melingkupiku.
"Apakah kamu tau bahwa sejak kepergianmu, aku tidak lagi percaya diri?"
Kubuka mataku dan menemukan mata kelamnya nampak bersungguh-sungguh. Kulebarkan mataku, menunggu kelanjutan ucapannya.
"Why?" tanyaku lirih. Aku masih ingat bagaimana ia dengan begitu percaya diri dan lantang mengatakan suka padaku dan sangat yakin bahwa aku pasti menerimanya karena aku mencintainya. Dan ya, memang aku mencintainya.
"Karena rasanya kamu meninggalkanku dengan mudah. Sangat cepat dan aku tidak bisa menjangkaumu lagi. Hilang seperti ditelan bumi. Tidak ada seorangpun yang tau. Bahkan almarhumah Bu Irma," Revan menangkup wajahku.
Dengan perlahan dan sangat hati-hati, ia mendekatkan bibirnya, mencecahkan kecupan ringan namun masih mampu memberikan efek yang dahsyat padaku.
"Jangan pernah pergi lagi dari sisiku, Cinta. Semua ritme hidupku timpang saat kamu tidak lagi di sisiku. Aku mencintaimu Andini, cintaku."
Lalu ia merunduk lagi, melabuhkan bibirnya, membawaku dalam ciuman panjang. Melumat dengan sepenuh perasaan.
"Rasanya sangat melegakan. Ijinkan aku menyentuhmu lagi, Cinta. Kali ini kita akan melakukannya dengan benar, dalam ikatan suci dan resmi. Kamu milikku, sebagaimana juga aku milikmu."
Revan kembali merengkuhku dalam pelukan dan ciuman penuh kelembutan dan cinta. Perlahan membalut luka hati yang tertoreh di masa lalu.
Apa lagi yang kucari? Dengan cinta kami, aku sanggup mengarungi kehidupan ini. Selalu bersamanya.
.
.
SELESAI.
.
.
Sampai jumpa di short story yang lain 😉
LianFand 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Masa Lalu
Short StoryMeninggalnya Mama Irma, mama kedua bagi Andini setelah mama kandungnya meninggal, membuat Andini harus kembali bertemu dengan dua laki-laki masa lalunya. Yang satu adalah laki-laki yang dicintainya, dan satu lagi adalah kakak tiri yang membuat perta...