2

8.7K 990 17
                                    

Hatiku meragu untuk melangkah lebih dekat. Kupandangi pondok itu dari jarak dua puluh meter.

"Cinta?" suara Revan mengusik keraguanku.

Aku menatapnya sesaat sebelum kembali memandang pondok itu.

"Ayo," ia menghela lembut tanganku.

Selangkah, dua langkah, tiga...

Dan kini aku berdiri dua meter dari pintu masuk.

"Cinta, ayo," ajak Revan tersenyum.

Aku menggeleng. Kukuatkan hatiku. Aku tidak boleh terbelenggu masa lalu. Lalu aku selangkah lagi. Rasanya begitu berat.

Lalu raungan motor terdengar mendekat, membuatku refleks berbalik. Mataku melebar melihat siapa yang datang bersama motor besar itu. Sekelebat rasa sakit kembali menyelimutiku. Dapat kurasakan genggaman Revan mengerat.

"Ckckck... kalian sudah bersama lagi? Apa kau ingin menidurinya lagi, Van? Ya ya ya... bukankah sejak dulu ia selalu siap telanjang dan mengangkang di depanmu?" ejekan itu terlontar dari bibirnya. Tubuhku gemetar.

"Jangan memancing emosiku, Don. Jaga ucapanmu!" hardik Revan. Ia menarik tanganku sedikit ke belakang tubuhnya.

"Ck! Kenapa kau harus marah?" Doni berdecak.

"Pergilah, Don!"

"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu," Doni berucap lantang.

Revan membalasnya dengan dengusan.

"Biarkan aku mencicipi juga tubuhnya. Aku penasaran dengan servisnya. Apakah dia hebat?" mata Doni memicing menatapku dengan kejam. Bibirnya membentuk seringai menakutkan.

Aku makin menyurut, bersembunyi di balik punggung Revan.

"Brengsek! Hadapi aku dulu!" Suara Revan menggelegar marah.

"Fiuuuh.... kenapa kau marah? Dia tidak seberharga itu, Van! Atau kau melupakan persahabatan kita demi jalang itu? Sudah kena guna-guna kau rupanya?"

"Kau salah, Don! Andini jauh lebih berharga dibandingkan persahabatan busukmu!"

"Huh, Revan sekarang tidak asyik sama sekali!" setelah berucap menyebalkan, Doni meraungkan motornya, meninggalkan kami bersama debu berterbangan.

.

=====

.

Aku menerima segelas air dari Revan, meneguknya dengan gemetar.

Revan menatapku gelisah.

"Cinta-"

"Please, jangan panggil aku dengan sebutan itu," potongku resah. Aku pernah lupa diri dengan sebutan yang membangkitkan harapan itu.

Revan mengambil gelas dari tanganku, meletakkannya di meja. Lalu ia merangkum kedua tanganku. Matanya menyorot penuh penyesalan.

"Maafkan aku, Cinta," bisiknya mengecupi jemariku.

Aku menunduk. Perasaanku kacau. Penghinaan Doni, emosi Revan, semua membuat seluruh kepahitan yang pernah kurasakan di masa lalu kini muncul ke permukaan.

"Aku bukanlah cintamu. Aku tidak pernah menjadi cinta untukmu. Jangan karena perasaan bersalah di masa lalu membuatmu salah mengartikan perasaanmu," kugigit bibirku, mengurangi gelisah yang menderaku.

Revan menggeleng pelan. Ia melepaskan genggamannya dan beralih menangkup kedua belah pipiku.

"Aku tidak pernah salah mengartikan perasaanku. Sampai kapanpun, kamu adalah cintaku. Dulu pun, aku melakukannya dengan sepenuh hati dan cintaku. Pertaruhan itu hanya sepihak. Aku tidak pernah meng-iya-kan tawaran Doni. Aku bahkan bermaksud melamarmu, Cinta. Tapi kamu terlanjur pergi. Terluka. Menghindar dan menjauh dariku, tanpa pernah mau menemuiku lagi," mata Revan menyeretku dalam kesedihan berkepanjangan.

"Sekarang, aku tidak mau melepas kesempatan ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi dariku. Menikahlah denganku, Cintaku," kata-katanya tegas tanpa ragu.

Jika ini mimpi, maka aku tidak ingin terbangun lagi.

.

.

Bersambung🌹🌹🌹🌹🌹

Luka Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang