3

8.6K 914 14
                                    

Seingatku, aku baru saja keluar dari kamar ganti setelah mencoba gaun pengantin ketika tiba-tiba Doni menyeretku keluar dari butik dan memaksaku masuk ke mobilnya.

Tentu saja aku meronta dan berteriak menolaknya, tapi dua tamparan keras membungkamku, menenggelamkanku dalam kegelapan.

Dan kini, aku membuka mata dan melihat sekelilingku. Tempat asing. Seperti sebuah gudang. Dan.... di sana, dia berdiri berkacak pinggang dengan pongah, menyeringai mengejek ketidak berdayaanku. Aku mencoba bergerak, namun seketika menyadari kedua tangan dan kakiku terikat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan laki-laki laknat yang sialnya menjadi kakak tiriku.

"Apa maumu?" tanyaku gemetar.

"Mauku masih tetap sama. Menghancurkanmu," jawabnya mendekat, lalu berjongkok.

"Aku tidak pernah merasa berbuat salah padamu," cicitku ketakutan.

"Tentu! Salahkan Ibumu! Dia merebut kekasih ibuku, hingga ibuku menderita. Hamil diluar nikah, menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang-orang. Kau tau kecelakaan yang menyebabkan ibumu meregang nyawa? Hahaha... seharusnya kubuat ia cacat seumur hidup! Tapi sayang, mobilnya terguling di jurang dan meledak. Ck, ia mati dengan mudah. Lalu ibuku kembali pada kekasihnya, ayahku. Orang yang kau panggil Papa itu ayahku!"

Aku terhenyak. Jadi kecelakaan yang Mama alami adalah hasil perbuatan Doni?

"Jika ucapanmu benar, berarti kita satu ayah. Kenapa kau tega-"

"Cih! Aku tidak sudi mempunyai adik dari wanita perebut ayahku! Wanita yang sudah membuat ibuku stress dan menderita. Yang membuat kami hidup terlunta-lunta dan menerima cemoohan sana sini. Dan sepertinya, aku bisa memposisikanmu agar merasakan apa yang ibuku rasakan," Doni menyeringai lagi. Ia mengulurkan tangannya menyentuh daguku.

"Tidak!"

"Hahaha... aku tidak memerlukan persetujuanmu, Jalang!" bentaknya lagi-lagi menamparku.

Aku merasakan sudut bibirku terasa asin dan mataku nyaris meledak. Sakit sekali.

Tangan Doni terulur lagi, menyentuh kancing atas blouse-ku.

Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak boleh menyerah dan membiarkan dia lebih parah menghancurkanku! Kujejakkan kedua kakiku yang terikat sekuat tenaga tepat mengenai atas lututnya. Ia terjengkang, namun segera kembali bangkit dan menggerung murka. Menamparku hingga aku terjajar.

Doni sudah mencengkeram atasanku dan hendak merobeknya ketika pintu gudang didobrak dari luar. Beberapa polisi meringkus Doni, sementara Revan dan Papa tergopoh menghampiriku.

Revan langsung membopongku keluar begitu ikatan di tanganku terlepas. Kupejamkan mataku sambil menghembuskan nafas lega.

.

=====

.

Usapan ringan di dahi membuat aku terjaga. Perlahan membuka mata dan mengerjap, menyesuaikan retinaku dengan cahaya. Senyum Revan yang pertama kali kulihat.

"Sudah lebih baik?" tanyanya menatapku lembut.

Aku mengangguk.

"Maaf, aku terlambat menyelamatkanmu. Pasti sakit sekali rasanya," Revan menyentuh pipiku yang lebam.

Kupejamkan mataku sesaat dan meringis ketika jemari Revan tanpa sengaja menyentuh sudut bibirku.

"Maaf," ucapnya lagi. Aku bisa melihat lumuran penyesalan di mata kelamnya.

"Tidak apa," aku menggeleng pelan.

Revan menarik tangannya, tapi tidak melepas pandangannya sedikitpun.

"Papamu dan Ibu Mayang ada di luar. Ibu Mayang ingin bertemu denganmu. Apakah kamu bersedia?" tanya Revan hati-hati.

Tidak ada alasan bagiku untuk menolak, jadi aku mengangguk memperbolehkan.

"Jangan takut, aku berada di sisimu," kata Revan mengecup keningku sebelum membuka pintu ruang rawat inapku dan memberitahu mereka.

Papa dan Ibu Mayang masuk dan mendekat. Papa mengecup keningku.

"Maafkan Papa. Papa tidak tau akan seperti ini jadinya," ujar Papa lirih.

"Maafkan anak ibu, Andin. Ibu tidak menyangka Doni berbuat begitu padamu. Maaf, ibu gagal mendidiknya," Ibu Mayang menangis sesenggukan. Papa menenangkannya dengan memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.

"Semua salah Papa, Andin. Kalau saja Papa tidak menerima perjodohan antar keluarga itu, Mama-mu tidak akan meninggal se-tragis dan secepat itu," kata Papa. Wajahnya menyiratkan kesedihan.

"Apapun yang terjadi di masa lalu kami, tidak ada hubungannya denganmu, Andin. Lagipula, aku yang mendorong Papamu menerima perjodohan itu dan menyembunyikan kenyataan bahwa aku tengah mengandung anaknya. Ibu tidak pernah menyangka Doni terluka dan memendam dendam begitu dalam. Maafkan kami, Nak," Ibu Mayang makin tersedu.

Aku tidak tau bagaimana harus menanggapi semua cerita yang kudengar. Semua terdengar begitu rumit. Papa dan Ibu Mayang terlihat begitu menyedihkan. Merasa bersalah atas apa yang terjadi padaku selama ini. Revan menceritakan semuanya pada mereka. Juga sebab mengapa aku meninggalkan rumah tiga tahun yang lalu.

Genggaman yang mengerat pada tanganku membuat aku menoleh dan menatap pada pemilik tangan yang merangkum jemariku dalam diam.

"Revan, Papa gagal menjaga putri Papa. Papa mohon, jaga Andini baik-baik," permintaan Papa disertai rasa bersalah yang begitu dalam membuatku ikut merasakan kepedihannya.

"Pasti, Pa. Revan akan menjaga Andini dengan seluruh jiwa raga Revan."

"Pa, aku sudah menerima semua ini dengan ikhlas. Papa dan Ibu jangan menyalahkan diri sendiri lagi," kataku pelan. Dadaku terasa sesak melihat mereka begitu terlukai oleh sikap dan ulah Doni.

Ibu Mayang menghambur memelukku, menumpahkan tangisnya. Lalu Papa ikut bergabung, memelukku dan Ibu. Kami menangis bersama.

.

.

Bersambung🌹🌹🌹🌹🌹

Luka Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang