Chapter 8

337 44 2
                                    

Momen kejujuran itu akan terjadi sekarang. Momen ini adalah tentang mereka berdua menjadi diri mereka sendiri di tempat baru meski hanya dalam waktu sebulan.

Mean dan Plan terbang ke Finlandia selama sebulan untuk dua misi, bulan madu dan menyelidiki rekening. Sesuai kesepakatan, mereka alan bersikap seperti pengantin baru dan mereka akan melupakan permusuhan mereka untuk sementara waktu.

Kesepakatan dimulai sejak pergi dan Plan adalah orang yang berkomitmen tinggi. Ia akan melakukan kesepakatan itu dengan baik agar hasilnya juga baik.

Mean agak kaget dengan perubahan sikap Plan yang jelas bertolak belakang. Ia tak marah saat Mean melakukan apa saja kepadanya, bahkan ketika mencumbunya di bandara dan di dalam pesawat. Ia melayani Mean dengan baik.

Bahkan ketika Mean dengan manja mengistirahatkan kepalanya di pangkuan Plan, Plan mengelus kepalanya pelan dan menyelimuti tubuhnya dengan sweaternya.

"Kau lelah?" tanya Mean saat melihat mata Plan yang mulai sayu.  Mereka berada di dalam taksi menuju rumah yang mereka sewa selama sebulan.

Rumah itu berbentuk seperti igloo dan menampilkan pemandangan yang luar biasa khususnya pada malam hari. Katanya, orang bisa menikmati aurora dan menyaksikannya dengan mata telanjang.

"Uhm, agak lelah," sahut Plan dan ia tak sungkan mengistirahatkan kepalanya di bahu Mean dan menggenggam tangan Mean erat sambil memejamkan matanya.

Mean sekali lagi terhenyak. Beginikah sikapnya ketika ia bermanja dengan God. Mana mungkin ia akan membenci perempuan ini jika sikapnya semanis ini.

Perjalanan dari Helsinki, Ibukota Finlandia, ke tempat yang mereka sewa ditempuh cukup lama, kurang lebih satu jam. Mereka memilih tempat itu sebab tempat itu menawarkan banyak hal yang menarik termasuk wisata reindeer.

Mereka tiba setelah menempuh satu jam perjalanan. Waktu itu sudah sore dan matahari mulai tenggelam. Plan duduk di tepi ranjang. Mean menyusul dari belakangnya lalu duduk di sebelahnya. Plan mendongak ke atas dan matanya membelalak dan dipenuhi dengan binar kekaguman.

"Wah, indah sekali!" lirih Plan sambil menatap ke atap rumah yang langsung menyajikan pemandangan langit. Ia merebah dan masih menatap ke atas. Mean ikut menatap ke atas dan ia pun terpukau.

"Meaaan, sini!" sahut Plan sambil menepuk bagian kosong di sebelahnya.

"Kenapa?" tanya Mean.

"Sini, berbaring di sebelahku!" sahut Plan dengan lembut dan ia tersenyum kepada Mean. Mean terhenyak.

Untuk sebuah akting, bukankah ini terlalu baik? Mean juga seharusnya berbuat sama. Ia juga harus bisa mengatasi kecanggungan ini, ia harus bisa menghilangkan perasaan benci itu dan ikut bermain dalam kesepakatan yang ia ciptakan semata karena ia ingin bersama Plan lebih lama dalam situasi yang lebih baik. Lalu saat Plan sudah bersikap seperti yang Mean inginkan, kenapa malah Mean yang seolah tak bisa mengikuti permainannya sendiri. Mean harus bisa melakukannya. Bukankah ia ingin merasakan bahagia. Oleh karena itu, ia langsung merebahkan dirinya di sisi Plan.

Keduanya menatap langit sambil tersenyum. Perlahan tangan Mean bergerak menuju tangan Plan yang berdampingan dan ia memegang tangan Plan. Plan tersentak tapi ia kemudian menautkan tangannya juga sambil melirik ke arah Mean sekejap dan tersenyum. Keduanya saling menyunggingkan senyuman dan kedua mata mereka dipenuhi dengan kekaguman. Satu sama lain memberikan pujian dalam benak mereka bahwa senyum orang yang ada di hadapan mereka itu begitu indah dan mereka tertawan karenanya.

"Ayo ambil foto," sahut Mean dengan nada lembut. Plan kaget. Itu pertama kalinya Mean bicara dengan nada seperti itu, khususnya kepada dirinya.
Namun, tak perlu waktu lama untuk Plan menganggukkan kepalanya dan kemudian mereka mengambil swafoto  sambil berbaring di atas ranjang dengan tangan bertautan.

"Mana hasilnya? Aku ingin lihat," ujar Plan. Ia telungkup di sebelah Mean. Mean membuka hpnya dan ia menunjukkan yang Plan minta.

"O, ini lumayan bagus," ujar Plan sambil mengambil hp Mean dan mengamatinya. Mean menatap orang yang mengamati itu sambil tersenyum. Ia mengangkat kepalanya dan mengecup pipi Plan lembut sambil tersenyum.

"Meaaaan!" Nada khas Plan keluar. Ia mengelus pipinya sambil memgerling kesal. Mean kaget. Jantungnya berdebar saat ia mendengar itu dan ia sangat bahagia saat Plan mengucapkan itu.

"Bilang lagi!" ucap Mean.

"Apa?" tanya Mean sambil melirik ke arah Mean dan tersenyum.

Mean diam. Ia terpukau pada wajah yang tengah tersenyum itu.

"Apa?" tanya Plan sekali lagi.

"Uhm, sudahlah!" ujar Mean dengan pelan.

Plan tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Mean dengan cepat dan ia kemudian merebahkan dirinya kembali pada posisi yang semula.

Mean kaget. Ia melirik pada Plan yang tengah menatap ke atas, berpura-pura menikmati pemandangan sambil tersenyum. Mean terus menatapnya dna membuat Plan mengalah lalu melirik ke arahnya dan tersenyum.

"Kau tampan sekali!" lirih Plan dan tangannya menjulur mengelus wajah Mean. Mean diam. Ia membiarkan tangan Plan mengusap wajahnya pelan dan lembut. Ia menikmati kegiatan itu sebab ia merasa hangat dan nyaman.

Perlahan-lahan wajah mereka saling mendekat dan bibir mereka bertautan hangat. Itu ciuman untuk yang pertama kali setelah mereka resmi menjadi suami istri. Bibir mereka bergamitan lembut dan mereka memejamkan mata mereka. Setelah beberapa lama, mereka melepaskan ciuman mereka seraya membuka matanya dan kembali saling menyunggingkan senyuman.

"Kamu pintar mencium," puji Mean.

"Karena yang kucium bibirmu," lirih Plan sambil tersenyum. Ia mengelus bibir Mean.

Mean mengambil tangan yang mengelus itu dan kemudian menciumnya. Plan hanya diam, menatapnya sambil tersenyum. Akting atau bukan, mereka tak lagi peduli, sebab perasaan mereka begitu meluap-luap.

Mereka kembali berciuman dan kali ini lebih intens. Mereka saling mendekap dan perlahan kedua tangan itu saling menyentuh halus dan menjamah bagian tubuh yang bisa mereka elus.

Tangan Mean berada di leher Plan sekarang dan mereka masih berciuman dengan intens menciptakan bunyi kecipak ciuman yang cukup keras disertai desahan halus yang menyelinap dari kedua mulut mereka.

Keduanya membuka mata mereka lagi seraya melepaskan tautan bibir mereka.

"Mean," desah Plan.

"Uhm," gumam Mean.

"Ayo kita bercinta," lirihnya.

Mean menganga. Itu pertama kali juga mendengar Plan mengatakan itu. Biasanya dia selalu memaksa. Dan ia bisa dengan jelas mendengar bahwa kata-kata yang meluncur dari mulut penuh sang perempuan itu memang dipenuhi dengan keinginan yang jujur.

Mean mendekap Plan erat dan mencium keningnya dengan lembut. Pla tersenyum. Ia membalas dekapan Mean dan tak lama kemudian mereka berciuman kembali sambil saling melucuti pakaian mereka.

Bersambung





Northern LightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang