Saat bangun pagi, Mean tak mendapati Plan ada di sisinya. Saat ia siap dengan jas dan semuanya, sang pelayan memberitahunya bahwa Plan sudah pergi ke kantor sejak pagi buta.
Mobil Mean melaju di jalanan kota Bangkok menuju kantornya. Ia duduk dengan tenang di kursi belakang layaknya para tuan yang menikmati sebuah perjalanan.
Ia merebahkan dirinya ke sandaran kursi mobil dan memejamkan matanya sejenak dan tiba-tiba bayangan saat ia bercinta dengan Plan memenuhi pikirannya dan berputar dengan begitu jelas dalam ingatannya.
"Sial!" rutuknya kesal. Ia mengepalkan tangannya. Ia tak tahu kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang saat kenangan pergumulan dengan Plan tadi bermain di dalam memorinya. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa dirinya begitu menikmati pergumulan itu dan ia memang merasakan kenikmatan yang belum pernah ia alami saat bercinta dengan wanita manapun kecuali dengan si perempuan menjijikkan itu.
"Kenapa?" Dia memukul kursi di sebelahnya dengan kesal. Sungguh perasaan dan pikirannya tengah bergelut sekarang antara ia ingin merasakan lagi tubuh itu dan ia membenci perempuan itu dan menolaknya. Ia tak sudi menyentuhnya.
Pertarungan itu entah dimenangkan oleh siapa. Yang jelas tubuhnya bergetar hebat saat ia membayangkan tubuh sintal nan indah Plan tanpa busana dengan wajah sensual dan aura nakal dari matanya saat orgasme menatap dirinya menggoda pikirannya.
Tentu saja! Tubuh itu tak akan menggoda imannya. Phiravich tak punya iman. Jika ia memang memilikinya sedikit saja, naganya tak akan bangun hanya karena ia masih bisa merasa bibir Plan yang penuh di bibirnta saat ia lumat habis dengan panasnya, tak akan menggeliat hanya karena suara desahan dan rintihan Plan di sela makiannya terhadap dirinya tadi malam terus terngiang seperti lebah yang tengah berputar dekat denhan gendang telinganya.
Ia meneguk ludah dan kemudian menarik napas panjang. Ia tak mau sopirnya tahu bawa ia tengah sange sekarang. Ia tekan tombol partisi kaca yang menghalangi antara dirinya dan sopirnya dan kemudian menelusupkan tangannya ke balik celananya, mengelus naganya perlahan agar ia tidut kembali.
Setelah beberapa waktu ia melakukam metode pengalihan, akhirnya, Phiravich dapat kembali pada dirinya yang karismatik. Ia melempar tisu yang menjadi sasaran loncatan cairan dari mulut naganya saat ia orgasme dengan tangannya sendiri.
Untuk pertama kalinya sang Cassanova tunduk pada tangannya sendiri hanya karena bayangan si wanita menjijikkan yang ia nikmati secara paksa tadi malam. Phiravich marah kepada dirinya sebab baginya itu sebuah kekalahan.
Mobil tiba di lobi. Sopir menghentikan mobil dan dengan cepat keluar untuk membuka pintu. Mean keluar dan berdiri sejenak untuk merapikan dirinya. Ia mengambil tasnya dari sang sopir dan kemudian berjalan ke dalam kantor.
Mean memasuki ruangan. Ia tengah menatap laptopnya saat Gong mengetuk pintu dan membawa beberapa salinan dokumen.
"Plan sudah mengecek semuanya. Tapi, ia minta kau membacanya sekali lagi sebelum tanda tangan," ujar Gong yang duduk di depannya.
"Uhm," gumam Mean sambil membuka dokumen dan membaca setiap bagiannya. Setelah ia menelitinya dengan saksama dan paham dengan isinya, ia menandatangani dokumen itu lalu memberikannya kembali kepada Gong.
"Terima kasih," sahut Gong dan ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Di mana Plan?" tanya Mean. Itu tepat saat Gong membuka pintu.
"Kau bertanya tentang Plan?" Gong memastikan. Pasalnya, ia selalu tak peduli soal Plan. Jadi, jika tiba-tiba ia bertanya soal Plan, itu aneh untuknya.
"Ya, di mana istriku?" tanya Mean memastikan. Gong malah mengernyitkan alisnya. Tapi, ia menjawab pertanyaan Mean dengan menunjukkan bahwa Plan tengah rapat dengan klien baru untuk supplier produk mereka. Mean hanya menganggukkan kepalanya.
Malamnya ia menunggu Plan di kamar. Yang ditunggu tak kunjung datang. Sampai pagi ia bangun, Plan tak pulang. Ia kesal. Ia menelepon Plan, tapi Plan tak menerimanya. Semua panggilan dialihkan seolah ia kesal karena kejadian malam pada tempi hari.
Beberapa hari Plan tak pulang ke rumah. Mean tahu alamat apartemennya dan saking penasarannya ia menyambangi ke sana, sayangnya orang yang dicari tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Siang hari saat di kantor, ia tak punya banyak waktu. Sekilas ia melihat Plan berjalan melewati kantornya menuju kantor Gong, ia ingin mengejarnya tapi tak bisa sebab ia tengah rapat dengan para pemegang saham yang lain dan akhirnya ia kecolongan lagi.
Begitulah. Beberapa hari berlalu. Ia harus menggigit jari karena ia tak bisa melihat yang ingin ia lihat sampai pada suatu sore, saat ia selesai rapat, ia berpapasan dengan Sammy, sekretarisnya, di pintu menuju ruang arsip membawa dokumen bekas rapat. Kala itu, Sammy tengah membuka pintu dan ia hendak masuk dan Mean melihat dengan jelas bahwa Plan ada di ujung salah satu lorong hendak memasukinya.
Mean tersenyum. Ia bersembunyi di balik dinding menunggu Sammy keluar dan setelah ia melihat Sammy keluar, ia memasuki ruang arsip dan menguncinya dari dalam.
Mean berjalan menuju lorong yang Plan masuki dan dari ujung, ia bisa melihat Plan tengah berkonsentrasi dengan setumpukan fail dan beberapa dokumen yang tengah ia kaji. Ia duduk di lantai, dikelilingi dokumen dan berkonsentrasi membaca satu dokumen yang ada di pangkuannya. Rambutnya ia sanggul ke atas, selalu begitu saat ia serius dengan sesuatu.
Mean berjongkok di belakang Plan dan perlahan mendekatinya dan bibirnya mencium leher belakangnya dengan lembut dan ini membuat Plan tersentak kaget. Ia menoleh dan mulutnya menganga. Ia terhenyak tapi masih sadar untuk bergerak menjauhi Mean. Sayangnya ia kalah cepat. Mean menahan kakinya dan membuat Plan jatuh telungkup dan Mean berada di atasnya.
"Meaaan! Brengsek!" Plan membentaknya dan tubuhnya memberontak.
"Aku rindu makianmu," bisik Mean. Suaranya berat. Ia mencium pucuk kepala Plan dan kemudian membalikkan tubuhnya dan dengan cepat menurunkam celana dalam dari balik rok span Plan. Ia kemudian menaikkan roknya dengan satu tangannya sehingga bagian bawahnya terekspos bebas.
"Berhenti, Meaaan," teriak Plan. Nadanya kesal dan marah.
"Benar. Kau harus berhenti melawanku. Ayolah kita nikmati saja. Kita ini suami istri bukan?" Mean menatap Plan dan menangkup wajah Plan dengan satu tangannya.
"Di atas kertas saja," ujar Plan dengan nada yang sama.
"O, jangan begini. Aku tak punya teman untuk bersenang-senang," sahut Mean lagi.
"Kalau itu masalahmu, cari saja di tempat biasa kau mendapatkan mereka, jangan lampiaskan kepadaku. Kau membenciku dan aku juga begitu. Jangan menyentuh orang yang menjijikkan seperti diriku," rajuk Plan. Sorot matanya memohon.
"O, entahlah! Kurasa aku berubah pikiran," desah Mean sambil menurunkan celananya dan mengeluarkan naganya. Ie membenamkan bibirnya ke bibir Plan dan menggamitnya perlahan.
Bersambung