II ╢ Live Streaming

373 42 8
                                    

Aku memandangi mentari yang beranjak tergelincir dari singgasananya dengan perasaan yang campur aduk. Kadang aku mengaguminya karena keindahan lembayung yang dipancarkannya, akan tetapi acapkali aku menyesalkan kepergiannya yang menyusahkanku.

Sore hari seperti ini adalah awal dari shift kerjaku di restoran cepat saji. Sebagai lulusan SMA yang tak mampu membayar biaya kuliah dan terlalu muak untuk meminjam uang pada rentenir, aku memilih untuk bekerja disana yang kuyakini gajinya sudah cukup untuk menghidupi diriku sendiri.

Bekerja di bagian penggorengan pada restoran cepat saji bukanlah hal yang mudah. Ralat, apapun itu pekerjaannya, tidak ada yang mudah. Saat diasuh oleh bibiku tak lama setelah pemakaman-tanpa-jasad Ibuku yang mati dengan mengenaskan dengan cara menenggelamkan dirinya di sungai Han, bibiku segera mencarikanku pekerjaan setelah disangka oleh salah satu pelanggannya jika aku adalah gadis baru di rumah bordilnya yang berkedok salon nail art.

Aku tahu benar jika bibiku ini bukan warga negara yang baik dan kerap masuk kedalam target operasi dadakan polisi akibat bisnisnya yang tak memiliki izin usaha—meski kini telah mengantonginya—tapi dia tak pernah membiarkanku masuk kedalam dunianya.

Memiliki satu-satunya keluarga yang baik seperti ini saja sudah mampu membuatku rajin ke kuil seminggu sekali untuk berterima kasih kepada dewa yang masih bermurah hati kepadaku. Ketimbang bibi, bagiku Ayah dan Ibu adalah dua pecundang yang tak mampu menghadapi kehidupannya.

Aku mengembuskan napasku dengan kasar saat kepalaku dengan sengaja memproyeksikan dua wajah yang sebetulnya tak ingin aku ingat.

Ayahku awalnya adalah pria yang baik. Hidupnya lurus, pekerjaannya pun cukup menjanjikan. Sebagai seorang bankir, kami bertiga selalulah hidup berkecukupan dan tinggal di rumah yang fasilitasnya sangat mumpuni.

Aku tak perlu khawatir memikirkan tagihan listrik dan memutar pemanas ruangan sepanjang hari dan menggoreng kentang sebanyak-banyaknya di dry fryer. Ibuku juga benar-benar tahu menikmati gelimang harta yang kami miliki.

Dia dulunya adalah ketua asosiasi ikebana dan memiliki banyak relasi dengan sosialita yang namanya terkenal di Korea. Untuk sebuah vas yang berisi bunga-bunga yang telah diaturnya, para sosialita itu seperti ikan piranha yang menyerbu mangsanya.

Harganya melambung tinggi sekali dan uang hasil penjualannya dihambur-hamburkan untuk hal-hal remeh seperti membeli sepasang sepatu yang bahkan merk-nya tak bisa kuucapkan yang kerennya pernah dipakai oleh Marilyn Monroe di sebuah pelelangan. Ibu rela membeli tiket terakhir menuju New York hanya untuk memuaskan dahaganya akan sepatu bekas.

Layaknya sebuah pepatah yang pernah kubaca, tidak ada pesta yang tak berakhir. Semewah apapun pesta itu, pada akhirnya tentu berakhir juga. Biasanya, pesta itu ditutup dengan sesuatu yang indah dan seharusnya meninggalkan kesan yang mendalam bagi orang-orang yang terlibat didalamnya.

Namun hal itu tak terjadi pada kami. Ayahku mulai membukakan pintu lebar-lebar pada kehancuran setelah salah satu koleganya mengenalkan dia pada dunia perjudian. Dalam sekejap, hartanya baik yang lancar maupun tetap lenyap begitu saja tak bersisa di atas meja judi.

Uang yang telah ayahku kumpulkan mati-matian jauh sebelum dia menikah dengan Ibuku pun dipertaruhkannya.

Jika sudah gelap mata begitu—koleganya yang kupercayai bekerja sama dengan rentenir kelas kakap—menyarankannya untuk berutang pada mereka yang dikatakan koleganya adalah orang-orang terpercaya serta bermurah hati memberi bunga yang kecil kepada Ayah. Maka tergiurlah ayahku akan ajakannya dan mengambil pinjaman dana sekitar 50 juta Won pada rentenir itu.

Bunga kecil yang mereka iming-imingkan itu adalah omong kosong besar. Aku tak mengerti mengapa Ayahku dapat dengan sebegitu mudahnya dibodohi oleh rentenir. Padahal, dunia perekonomian dan segala tetek bengeknya sudah menjadi bagian dari hidupnya yang naif. Tidakkah Ayahku menyadari bahwa bunga itu akan naik satu persen setiap bulannya?

𝙏𝙝𝙚 𝙒𝙤𝙧𝙡𝙙 𝘽𝙚𝙩𝙬𝙚𝙚𝙣 𝙐𝙨 | Seo SeongeunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang