Bertepuk Sebelah Tangan

161 2 0
                                    

“Ren!” panggil Rifgi, dia melambaikan tangannya ketika masuk dan melihat bayanganku sedang menatap ke arahnya.

“Lu udah lama nunggu?” tanyanya kemudian duduk di depanku sambil tersenyum—manis.

“Lu udah lama nunggu?” tanyanya kemudian duduk di depanku sambil tersenyum—manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia adalah cinta pertamaku, dan juga lelaki yang menyukai mamaku.

“Enggak, gue juga baru sampe kok,” jawabku bohong. Demi Rifgi aku sudah sampai di kafe ini setengah jam yang lalu.

“Sorry, tadi macet,” katanya sambil membuka laptopnya.

Bagaimana aku harus mengatakannya? Lelaki yang ada di depanku saat ini adalah lelaki yang menyukai mamaku. Wanita yang usianya berbeda 17 tahun darinya. Gila bukan?

Dulu—aku sempat tidak percaya kalau dirinya akan mengatakan perasaannya untuk mamaku kepadaku. Padahal aku sudah berpikir kalau dia akan menyatakan perasaannya kepadaku, yah kepadaku. Seseorang yang sudah menyukainya sejak kami berdua duduk di kelas satu SMA.

“Ren, gue mau bilang sesuatu sama lu. Gue harap, lu gak marah sama gue,” ucapnya tiba-tiba dengan serius waktu itu.

Mungkin empat bulan yang lalu? Ketika kami berdua ada di perpustakaan kampus.

“Apa?” tanyaku padanya.

“Tapi lu gak boleh marah, oke,” katanya sambil menetralkan napasnya yang masih tak beraturan.

“Apaan sih? Lu abis nyolong sandal mushola? Apa gimana?” tanyaku asal karena sudah kesal menunggunya terlalu lama.

“Jadi gini—gue suka sama—“ Rifgi menggantung kalimatnya, sengaja membuatku penasaran. Dan nyatanya itu berhasil hingga aku harus memukul kepalanya dengan buku tebal yang ada di hadapanku.

“Suka sama siapa? Entin?”

Rifgi menggelengkan kepalanya.

“Terus?”

“Gue suka—sama mama lu, Ren,” katanya kemudian, dia memundurkan wajahnya dengan mata yang sengaja ditutup satu. Aku yakin dia takut kalau aku melempar meja ke mukanya.

“Oh.” Aku hanya mengatakan kata itu meskipun dalam hatiku sangat kacau.

Aku sudah berpikir jika dia akan mengajakku berpacaran. Tapi, tidak.

“Kok, oh doang sih?”

“Lu gila ya, bilangnya sama gue langsung. Sama anaknya,” ucapku tak melihat wajahnya. Aku menekuri buku yang ada di bawah, mataku melihat buku namun pikiran berkeliaran ke mana-mana. Terlebih aku sedang berusaha menutupi rasa sakit yang sudah berkumpul dalam hatiku.

“Ya, kan gue minta restu sama lu dulu.”

“Terus, lu bakalan nikahin mama gue? Jadi bapak tiri gue?”

“Kayaknya gak sejauh itu deh Ren, kan belom tentu mama lu suka sama gue.”

Aku menghela napasku. Kemudian merapikan buku-buku yang ada di meja lalu keluar dari perpustakaan dengan perasaan yang hancur.

Forbidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang