Insiden Mati Lampu

125 1 0
                                    

Clauren POV

“Kalian kenapa ngobrol di luar?” tanya mamaku.

Wajah Rifgi menegang. Sudah pasti dia takut kalimatku tadi terdengar oleh mamaku.

“Lagi ada urusan, Ma,” jawabku cepat kemudian segera pergi meninggalkan mereka bertiga.

Masalah perut lebih penting saat ini dibandingkan memikirkan masalah Rifgi dan perasaanku.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Rifi, Om Yose dan mama sedang mengobrol di depan pintu pagar. Dan aku langsung memalingkan wajahku ketika ketahuan oleh Rifgi kalau aku sedang melihatnya.

Mengesalkan!

Di minimarket aku hanya membeli mie cup dan air mineral. Ku makan di sana sambil menunggu Om Yose pulang dari rumahku. Entah mengapa aku tidak nyaman dengan keberadaannya saat ini. Apa karena masalah Rifgi?

“Makan sendirian,” kata seseorang. Dia duduk di sampingku, dan ketika aku menoleh dia adalah Rifgi. Dia sedang meminum soda sambil menatap ke arah jalanan.

“Lu ngapain di sini?” tanyaku cuek.

“Nyusulin lu, disuruh sama mama lu.”

“Oh jadi, kalo gak disuruh sama mama gak bakalan nyusulin gue?”

“Ya gak gitu juga Ren.” Rifgi mengusak rambutku. Dan aku tidak menyukainya. Bukan masalah tidak sopan atau apa. Tapi aku takut kalau semakin merasa nyaman dengannya. “Lu sensitif banget akhir-akhir ini.”

Aku diam. Rifgi pun diam. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan sesekali hanya terdengar helaan napas dari arahnya.

“Rif.”

“Hmmm.”

“Soal tadi,” ucapku ragu.

“Kenapa?”

“Anggep gue gak pernah bilang kek tadi. Soalnya gue tau kalo lu sukanya sama mama gue bukan gue.”

Rifgi memandang wajahku dari samping dan tepat saat itu aku juga menatap wajahnya. Wajahku memanas dan aku yakin kalau wajahku saat ini memerah karena Rifgi.

Kalau saja dia tidak tahu perasaanku mungkin aku akan bersikap biasa saja. Namun ini berbeda, dia sudah mengetahui semuanya.

“Sorry Ren. Gue gak bisa—“

“Iya makanya lupain apa yang gue bilang tadi.” Aku berdiri sebelum Rifgi menuntaskan kalimatnya. Dan kupikir itu hanya akan semakin menyakiti perasaanku.

“Ren, tunggu bentar!” panggilnya tapi aku tidak peduli.

“Bukan gitu maksud gue,” lanjutnya mengejarku dengan langkah panjangnya.

**

Hujan.

Dan percaya atau tidak, jika saat ini Rifgi sedang di ruang tamu duduk di sana dan belum pulang dengan alasan kalau dia tidak membawa jas hujan. Aku tahu apa maksud dari Rifgi mengatakan itu.

Ya, agar dia ditahan oleh mamaku agar tidak pulang dulu sebelum hujan reda.

Om Yose sudah pulang tadi, setelah aku mengucapkan kalimat yang mungkin membuat harga dirinya sedikit terinjak-injak. Dia memutuskan untuk pulang saat itu juga—mungkin.

Setelah mengobrol dengan Rifgi di ruang tamu, mamaku pergi ke dapur dan memasakan mie rebus untuk Rifgi. Hal yang dilakukan mamaku hanya akan membuat Rifgi semakin menyukainya.

“Buat Rifgi?” tanyaku padanya.

“Iya, kasihan dia belum makan Ren,” jawab mamaku sambil tersenyum.

Oke—jujur kuakui kalau mamaku memang masih cantik di usia dia yang sudah tidak lagi muda. Dengan rambut hitam sebahu, bahkan kalau aku dan dia sedang keluar bersama aku sering dikira adiknya. Ya, adik.

Wajahnya juga terkesan awet muda, dia melakukan perawatan di salon dua minggu sekali, maka dari itu aku tidak menemukan kerut di wajahnya.

Kalau tubuhnya, sudah pasti masih sangat bagus. Sebab dia rajin lari pagi di sekitar kompleks rumah kami. Dia benar-benar bisa merawat tubuhnya, jadi tak heran kalau Rifgi menyukai mamaku seperti saat ini.

“Oh.” Dan itu adalah jawabanku.

“Sana temenin, kasihan.” Dia menunjuk ruang tamu dengan matanya, melihatnya cantik seperti itu membuatku harus merasa bersyukur atau bersedih. Kenapa harus mamaku sendiri yang menjadi rival dalam percintaanku?

“Kenapa gak disuruh pulang aja sih, Ma?”

Mamaku menoleh ke arahku dengan tatapan yang tak kumengerti. Seperti dia ingin mengatakan sesuatu tapi akhirnya tidak jadi.

“Nanti kalo dicariin sama ibu dia gimana?” lanjutku, berharap mamaku akan mengusirnya.

Kalau Rifgi bertahan di rumah karena ingin mengobrol denganku sih tak masalah. Tapi ini dia ingin bersama dengan mamaku, tak masuk akal kan?

“Mama udah telepon kok. Katanya gak apa-apa. Asal besok dia gak lupa buat kuliah.”

“Lagian kasian Ren, hujan deres kata ibu dia jalanan depan perumahan mereka kena banjir.”

“Oh.” Jawabanku kedua yang sangat singkat. Mamaku menatapku kemudian tersenyum jahil.

“Mama tau kalo kamu suka sama dia. Bukannya bagus kalo dia malam ini di sini? Kalian bisa ngobrol berdua,” bisiknya. Dan aku hanya menarik sudut bibirku. Sinis.

Tapi sayangnya hati Rifgi bukan untukku.

“Dia sukanya sama cewek lain, Ma.”

“Siapa?”

“Ada, dia lebih tua dari Rifgi.”

“Cantik?” tanyanya.

“Ya, cantik.”

“Kamu jangan menyerah dong, mama yakin kalau kamu mau berusaha pasti Rifgi suka sama kamu.”

Aku berdecih. Bagaimana kalau tiba-tiba aku mengatakan jika yang disukai adalah dia?

Ia kemudian berjalan menuju ruang tamu dan memberikan mangkuk yang mengeluarkan uap panas dari mie yang baru saja dimasak.

Mamaku sangat perhatian sekali pada Rifgi. Dan bisa jadi Rifgi akan salah sangka terhadap niat baiknya.

“Makan dulu mienya.” Mamaku meletakan mangkuk di meja. Dan aku bisa melihat jelas ketika Rifgi tersenyum pada mamaku. Senyum yang tak pernah diberikan pada orang lain termasuk padaku.

“Terima kasih, Tan.”

“Utang tante udah impas ya,” kata mamaku. Aku tak mengerti apa maksudnya.

Utang? Utang budi? Atau utang yang lain?

Aku masih berdiri di samping meja makan dan berpura-pura dengan gelas yang berisi kopi.

Aku mencoba untuk menguping pembicaraan mereka. Dan yang membuatku lebih kesal adalah ketika mereka berdua mengobrol layaknya teman biasa.

Mamaku berkhianat padaku. Katanya menyuruhku untuk mendekati Rifgi. Tapi sekarang dia malah asik sendiri.

Mataku membulat ketika tanpa sengaja melihat mamaku mengusak rambut Rifgi dan mengatakan sesuatu padanya. Tapi apa?

“Lu gak pulang?” tanyaku pada Rifgi ketika sudah tidak tahan lagi dengan pemandangan tersebut.

“Masih ujan Ren. Jalan ke rumah gue juga banjir.”

Dan …

Tiba-tiba rumah menjadi gelap. Sepertinya mati lampu. Aku tak bisa melihat apa-apa selain suara langkah mamaku yang sedikit bergeser.

Mati lampu hanya terjadi beberapa detik. Ketika lampu menyala, aku melihat mamaku sedang mencengekeram kuat lengan Rifgi—takut.

“Mama ngapain tangannya Rifgi?” tanyaku dengan marah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forbidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang