*****Ombak bergulung-gulung, menganga lebar siap menelan tubuhnya. Seketika ia memacu papan selancar untuk melompat lebih tinggi, hingga tak secuil pun ombak besar itu menyentuh tubuhnya yang berpeluh keringat. Sorak sorai berseru dari arah pesisir memuji aksinya mempecundangi ombak di musim peralihan yang terkenal ganas.
"Huuuuu ... mantap Mooooo!!!"
Tawa lebar menyeruak di bibirnya, mendengar pujian yang semakin memacu semangat, menghibur pengunjung pantai dengan atraksi selancar yang memacu adrenalin.
Emo Hartono namanya. Pemuda berkulit sawo matang dan kumis tipis di atas bibirnya yang senantiasa menyunggingkan senyum ramah. Pekerjaan sehari-harinya, nelayan yang tergabung di kapal BUMD. Namun sudah beberapa minggu ini kapalnya libur, karena himbauan pemerintah untuk mengurangi aktivitas pelayaran di musim peralihan yang cuacanya tak menentu.
Meski demikian, Emo tak banyak bersantai. Masa-masa libur digunakan untuk mengais rejeki melalui berbagai pekerjaan sampingan. Berjualan di pasar atau berkeliling ke desa-desa menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya sebagai nelayan tradisional yang lebih bebas aturan pelayaran, meskipun lebih beresiko juga. Emo pun tak riskan menjadi kuli angkut bongkar pasang kapal di pelabuhan atau menemani kunjungan turis yang membutuhkan panduan wisata di kawasan tempat tinggalnya, yang beberapa tahun ini dijadikan wilayah terkonsentrasi ekowisata oleh pemerintah daerah.
Lahir dan dibesarkan di lingkungan pesisir pantai dalam budaya nelayan, juga turut membentuk minat dan bakatnya sejak kecil. Bukanlah pemandangan asing menemukan pemuda itu berjibaku dengan ombak besar untuk menyajikan atraksi selancar yang menghibur pengunjung pantai. Dengan membayar pelayanan pribadi, Emo juga bisa diandalkan sebagai pemandu bakat selancar ataupun penyelaman. Yeah, Emo Hartono tak lain pemuda serba bisa yang akrab di mata teman-temannya sebagai "Satria Bahari". Julukan yang diberikan untuk talenta besarnya di dunia kelautan.
Sempurna tanpa cela, tapi namanya hidup di dunia berputar, siapa yang tahan setiap perubahan yang terjadi? Termasuk pula si Satria Bahari yang menghabiskan liburan di masa pandemik Covid-19, hanya dengan atraksi selancar sebatas pertunjukan pribadi untuk sahabat lama. Tapi toh melayani dia saja sudah setara tiga hari atraksi.
Maklum saja, Karya Pamungkas, sahabat kecilnya di kampung itu sudah sukses dari perantauannya ke ibukota. Selain memperbaiki taraf hidup keluarga di kampung, Karya juga cukup handal memperluas pergaulan, tak terkecuali dengan majikan sendiri. Jangan heran kalau ia sering diajak liburan ke tempat-tempat mewah, bersama bos yang dengan santainya ia beri caption "big bro" setiap kali update story di media sosial. Pulang kampung halaman kali ini juga sebenarnya keberuntungan Karya di tengah mahal plus ribetnya urusan rapid test yang diwajibkan untuk setiap pendatang. Tentu saja tidak ada yang mahal dan ribet untuk majikannya yang kaya raya.
Emo bersyukur keberuntungan Karya berimbas juga padanya. Gimana enggak, di tengah lesunya pariwisata plus libur ngapal, ada turis bayar homestay dan tidak mengenal "harga teman"!
Tidak ada nikmat yang ingin didustai Emo. Terlebih, dia juga dapatkan kembali hobinya yang dibayar mahal. Yeah, meski hanya Karya yang sedemikian terhibur aksinya di atas ombak. Sedangkan big bro yang lebih banyak diam, menyebar pandang ke lautan lepas itu ... Emo telah memutuskan berdamai dengan keangkuhannya.
Itung-itung juga menikmati masa reuni dengan Bang Yaya, panggilan Emo untuk Karya. Jadi, di sinilah kedua pemuda itu saling mendentingkan tos, setelah Emo turun dari selancar dengan aksi penutup yang meriuhkan sorak-sorak Karya.
"Hebat, Mo! Harusnya Satria Bahari kita udah jadi peselancar terkenal dibanding Sailor Moon," seloroh Karya.
"Yang penting kan kerja halal, Bang," timpal Emo sambil menancapkan papan selancar di pasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeza Kasta
Ficção GeralTragedi, harga diri, air mata, bahagia ... berlayar dalam romansa cinta anak manusia berbeda kelas sosial. Bacalah sambil memutar lagunya. Dijamin asyik.