Prolog

163 29 16
                                    

*****

"Pernikahan itu sekali seumur hidup, Mika. Masak kamu nggak pengen momen itu diabadikan seluruh keluarga?"

Mika bergeming sejenak penuturan kakak iparnya. Lalu menghela nafas panjang. "Mau gimana lagi Mbak Aya, entar malah membebani Mas Emo kalau Mika minta pesta ini itu," katanya, kembali melanjutkan mengiris bawang.

Aya melengkungkan sudut bibirnya. "Kamu itu nggak kurang Mika. Ayah ibunda kamu pegawai negeri. Mamas kamu Toma, suami Mbak, dia polisi. Kamu sendiri Sarjana Pendidikan, udah lulus CPNS juga kan?"

Aya menekankan irisannya pada bawang putih sambil sesekali melirik adik iparnya yang nampak cekatan mengiris bawang merah. "Yah, coba aja kalau Emo mau menurunkan sedikit egonya. Baik di kamu, baik di dia juga."

Mika menghentikan sejenak irisan bawangnya. Terlintas di benaknya beberapa bulan lalu, Pakde menyatakan niat adopsi Emo, untuk mengangkat status sosial pemuda itu agar tidak menimbulkan pergunjingan saat pesta pernikahan nanti. Mika Ardana Nareswari, seorang gadis keluarga priyayi dipersunting Emo Hartono, lelaki anak kedua dari lima bersaudara sebuah keluarga nelayan. Pernikahan yang sungguh timpang itu, jelas menjadi buah bibir santapan khalayak ramai yang berusaha dihindari Pakde Mika.

Asaka Satyamurti seorang pengusaha, pemilik toko bangunan yang sudah membuka cabang di berbagai kota. Sejatinya, pria itu anak angkat Kakek Mika saat menikahi Mena, wanita yang kini jadi Bude Mika. Pengalaman pernikahan berbeda kelas sosial, dimana Asaka hanyalah pegawai fotocopy saat menjalin hubungan dengan Mena—putri pemilik toko tempatnya bekerja—membuat pria itu seolah berhutang budi yang kini coba dibayarnya melalui adopsi Emo.

Sayang, niat baiknya tidak disambut baik Emo. Pemuda itu tersinggung karena merasa memiliki kedua orangtua lengkap yang membesarkan dan menyayanginya selama ini.  Menafikan kasih sayang sejati hanya untuk kesetaraan status sosial, suatu hal yang sulit diterima Emo. Dan Mika pun hanya bisa mengikuti pemikiran calon imamnya itu.

Namun bayangan pesta pernikahan yang digambarkan kakak ipar, kini  menari-nari di benak gadis 23 tahun. Begitu larutnya ia dalam angan-angannya menjadi ratu semalam, duduk bersama sang pangeran hati di altar pelaminan dengan dekorasi bak negeri dongeng. Tanpa pernah di sadari, imajinasi pernikahan mewah, perlahan mengoyak realita pernikahan sederhana yang disusun tangannya sendiri.

"Mika, hati-hati! Masak kamu iris jari manismu? Nanti cincin pertunangannya ditaruh mana?"

Mika menatap ujung jari manisnya yang menyeruakkan darah dari luka teriris tanpa sengaja. Langkah kakinya membawa keluar dapur yang hiruk pikuk persiapan acara lamaran nanti malam. Dicengkeramnya jari berdarah ke dada.

Entah kenapa hatinya terasa sakit, meski tak berdarah.

Berbeza KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang