2C

90 10 2
                                    

Suara musik menghantam memekakkan telinga. Siapa lagi pelakunya jika bukan Meisya. Gadis itu, benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku. Permintaanku untuk mengecilkan volume tidak digubrisnya.

Kepalaku berdenyut begitu hebat.  Rasanya mau pecah. Aku lalu mengambil selimut tebal dan bergelung di dalamnya, berharap suara bising itu lekas hilang.

Meisya sialan!

Bi Nana datang membawakan teh hangat. Suara musik telah berhenti. Mungkin anak itu telah menyelesaikan senamnya.

"Bibi balurin minyak kayu putih ya, Bu."

Aku mundur seketika. "Nggak, Bi. Nggak usah."

"Ibu pucat sekali."

"Nggak apa. Bibi bisa kembali ke dapur."

"Tapi, Bu...."

Aku menggeleng. "Terima kasih, Bi."

Bi Nana berlalu. Menyisakan aku yang kembali memijit pelipis. Ingin rasanya aku kembali bergelung di dalam selimut. Akan tetapi, aku harus segera bersiap menjemput Mas Mahes.

Suamiku akan tiba di bandara jam sepuluh pagi. Beliau ada seminar di Surabaya sedari kemarin. Aku tidak boleh terlambat menjemputnya.

Segera aku menuju kamar mandi dan mengguyur kepalaku dengan air hangat. Berangsur, pening kurasakan mulai reda.

Tiba di ruang tamu, aku mendapati Meisya dan Clara tertawa dengan renyahnya. Entah apa yang sedang dibicarakan keduanya. Tawa itu mengalun indah, seolah tanpa beban.

"Mei...."

Mereka menghentikan tawanya. Meisya melihatku dengan tatapan tidak suka. Ada sakit di ulu hati ditatapnya seperti itu. Kenapa dia sebenci itu padaku?

Mereka lantas ngeloyor masuk rumah. Aku melihatnya dengan nanar. Bahkan Clara, teman anakku itu juga menunjukkan ketidaksukaannya padaku.

Meredam rasa perih yang bergejolak, aku memfokuskan pada rencana awal. Segera berangkat ke bandara agar tidak terlambat menjemput Mas Mahes. Kakiku melangkah ke luar rumah, menuju garasi.

"Heh, Kain Pel! Mau kemana lo?"

Aku terperanjat mendapati teriakan Meisya. Sesuka hati dia memberiku julukan. Aku menoleh. Dia melotot sambil berkacak pinggang. Kemana sopan santun gadis itu?

"Budeg lo, ya?"

Satu hantaman kembali menyesakkan dada. Sama sekali tidak kubayangkan sebelumnya jika aku akan mendapati penolakan sekeras ini dari anak suamiku.

Meisya seolah memiliki dua kepribadian. Di depan Mas Mahes, dia akan menjadi gadis yang manja. Tidak terlalu penurut memang. Akan tetapi, sopan santunnya masih terjaga.

Sedangkan saat tidak ada ayahnya, Meisya seolah lupa pada tata Krama. Lupa bahwa bagaimana pun, aku adalah ibu sambungnya. Jika pun dia tidak bisa menerimaku sebagai ibunya, bukankah seharusnya masih menghormatiku sebagai orang yang lebih tua darinya?

Usiaku dengan Meisya terpaut empat belas tahun. Bukan selisih yang sedikit.

"Bicara yang sopan, Mei."

"Sama lo?" Meisya mengangkat telunjuk tangannya ke depan wajahku. "Mimpi!"

Aku berjalan cepat menuju mobil. Keterlaluan sekali anak itu.

"Mari, Bu."

Pak Mamat mempersilakanku masuk ke kursi penumpang. Dia telah siap mengantarku ke bandara.

"Terima kasih, Pak. Biar saya bawa sendiri."

Pada awalnya dia menolak. Tidak enak hati membiarkanku menyetir sendiri. Akan tetapi, aku tentu memaksa. Tidak nyaman rasanya jika berdua saja.

Sendiri menjalankan mobil membuatku bisa melupakan sikap Meisya pagi tadi. Meski ini hanya sementara. Setidaknya, mood-ku tidak hancur saat bertemu Mas Mahes nanti.

Aku bukan tidak suka musik. Aku suka. Apalagi musik yang sendu dan diputar sangat lirih. Seperti yang sedang kusenandungkan saat ini.

Kedinginan hembusan bayu
Tak sehangat telapak tanganmu
Yang membelai hatiku dengan kasih sayang

Selat yang memisahkan kita
Sunyi tanpa bintang kejora
Kuselipkan dengan ketulusan cinta suci

Satukanlah Hati Kami yang dibawakan oleh Poppy Mercury.

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang