5A

78 9 2
                                    

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa memiliki Meisya sebagai anak tiri adalah perkara mudah. Kukira, aku hanya perlu beradaptasi sedikit saja. Namun, rupanya tidak. Penolakan-penolakannya terus gencar kuterima setiap hari. Ada saja keonaran yang dia perbuat. Tidak hanya itu, kebiasaannya yang bertolak belakang denganku juga terasa begitu menyebalkan.

Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk bisa menerimanya. Mengikuti keinginannya yang ternyata justru menjadi bumerang bagiku. Lalu aku bisa apa?

Demi Meisya, aku memberanikan diri naik ke atas tebing. Meski aku harus memejamkan mata, mencengkram tangannya dengan kuat, dan mencoba membuang seluruh perasaan takut yang muncul di benak. Aku pada akhirnya bisa berjalan sampai ke puncak.

Sayangnya, mengambil hati Meisya tidak cukup sampai di situ. Kini aku kembali dihadapkan pada masalah yang luar biasa memalukan. Entah apa yang ada di pikiran anak itu hingga dia membuat keributan yang mencoreng nama baik sekolah.

"Duduk, Mei. Mama mau ngomong."

Aku telah berbicara setenang mungkin. Sekuat tenaga aku menenggelamkan emosi yang merebak keluar. Aku tidak ingin menghakiminya. Aku perlu tahu, apa yang menjadi alasannya hingga berbuat onar.

"Apaan sih! Gue capek!"

Seperti biasa, saat tidak ada ayahnya, Meisya tidak akan bersikap ramah padaku. Tatapan permusuhan tidak pernah lepas dari wajahnya yang ayu.

"Kamu nggak mau ayahmu tahu tentang ini, kan?"

Tidak ada pilihan lain. Ancaman tersebut terpaksa aku keluarkan. Sebenarnya, sama sepertinya, aku pun tidak menginginkan Mas Mahes tahu apa yang telah anaknya perbuat. Aku tidak ingin dia kembali marah pada Meisya. Sudah cukup Meisya tersudut. Jika masalah ini sampai di telinganya, kupastikan tentu Mas Mahes akan marah besar.

Tanpa perlu mengulang permintaan, Meisya akhirnya duduk. Raut wajahnya menunjukkan kejengkelan tanpa rasa bersalah. Sungguh, aku benar-benar tidak habis pikir. Sudah ikut tawuran sesama pelajar, lalu aku dipanggil menghadap kepala sekolah, sekarang bukannya mengakui kesalahannya, dia justru bertindak tidak acuh.

"Kamu tahu apa kesalahanmu?" tanyaku dengan suara rendah.

Meisya asyik dengan kuku-kuku di jarinya. Kedua tangannya saling bertaut memainkan kuku yang entah apa gunanya. Terlihat sekali dia cuek dan tidak peduli.

"Gue nggak salah!" serunya santai.

Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Gadis ini benar-benar menguji kesabaranku. Bisa-bisanya dia tidak merasa bersalah.

"Meisya!"

Gigiku bergemeletuk menahan geram. Setelah pipinya lebam dan bibir terkoyak, dia tetap pada anggapan otaknya. Tidak bersalah.

"Udah deh, gue capek. Mau tidur. Awas aja loe sampe ngadu sama ayah."

Meisya berdiri, hendak kembali ke kamarnya. Aku segera mencekal tangan anak itu, menariknya hingga dia terduduk kembali di sofa.

Meisya memekik. Kedua matanya melotot kesal. Aku mundur selangkah. Sama sekali tidak menduga bahwa tarikan tanganku rupanya membuat gadis itu terjungkal.

Tidak. Aku bukan ingin menyakitinya. Aku hanya ingin berbicara lebih banyak dengan anak suamiku itu. Aku ingin dia terbuka padaku, menerimaku sebagai ibu sambungnya.

"Loe jangan kurang ajar, ya! Mentang-mentang nggak ada ayah!"

Meisya berteriak beringas. Jantungku berdegup kencang. Antara merasa bersalah, takut, dan entah perasaan apa lagi, mulai berkecamuk di otakku. Tanganku mencengkram sofa erat, menyalurkan rasa geram atas keadaan.

"Maaf, Mei. Mama...."

Aku menggeragap, ingin Meisya tahu bahwa aku tidak sengaja melakukanya. Aku benar-benar merasa bersalah pada gadis itu.

"Loe sengaja kan?! Loe mau nyakitin gue?"

Meisya berdiri di depanku dengan sorot mata penuh kebencian. Aku kembali mundur, semakin menunduk. Darahku berdesir cepat. Kuakui, aku takut anak itu akan menyakitiku. Bukankah sikap Meisya tidak pernah baik padaku? Jadi, akan menjadi hal yang tidak mustahil jika dia akan bertindak kasar.

Otakku mulai berpikir liar. Bayangan bahwa Meisya akan memukulku kini menghantui. Ketakutanku semakin tidak terkendali saat tangan anak itu terangkat ke atas dan telunjuknya tepat berada di depan wajahku.

"Loe itu di sini cuma orang baru. Nggak usah macam-macam."

Aku mendongak. Menatap Meisya dengan tatapan heran. Dengan tubuh bergetar, tanganku bergerak, menyingkirkan tangan Meisya yang telunjuknya teracung hampir mengenai dahiku.

Aku bukan menantangnya. Aku hanya berusaha melindungi diri. Aku tidak ingin Meisya melukaiku secara fisik. Sudah cukup lisannya saja yang mencabik-cabik hatiku. Jangan lagi ditambah yang lain.

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang