"Jaga ucapanmu, Meisya!"
Sudah cukup selama ini aku mengendalikan diri untuk tidak menghardik anak itu. Sudah cukup aku menahan diri dari setiap bentakan dan oerkataan kasarnya. Sekarang tidak lagi. Demi kebaikannya, aku harus mulai tegas. Gadis itu tidak bisa dibiarkan bertindak sesuka hati. Dia perlu diberi pelajaran agar bisa menghargaiku, sedikit saja.
"Loe ngebentak gue?!"
Lengkingan kalimat Meisya kembali terdengar memekakkan telinga. Aku menulikan pendengaran agar tidak terpengaruh pada bentakannya. Sesekali, dia pun harus kubentak agar tidak semakin semena-mena.
Aku bukan tidak paham bahwa sulit baginya untuk menerimaku. Namun, seharusnya dia pun berpikir bahwa aku juga butuh usaha ekstra agar dapat menerimanya. Menganggapnya sebagai anakku sendiri meskipun nyatanya bukan. Dia hanya anak dari suamiku.
Jika aku mau membencinya sebenarnya bisa saja. Toh dia bukan darah dagingku. Namun, tidak! Aku tidak akan melakukannya. Aku telah berjanji untuk menerima dan menyayanginya dengan sepenuh hati.
"Ya! Dan mama punya hak untuk melakukan itu!"
Kulihat Meisya mengerjap. Tidak menyangka akan menerima respon demikian dariku, sepertinya. Biasanya, aku memilih mengalah. Menekan emosi agar tidak marah di hadapannya. Akan tetapi, tidak untuk kali ini.
Meisya mendengkus. Dia kemudian mundur dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan raut wajah kesal.
"Kamu itu sudah dewasa, Mei. Belajarlah tanggung jawab," kataku lagi. Kali ini aku memelankan suaraku. Tidak membentaknya lagi.
Meisya masuh menunjukkan wajah kejengkelannya. Aku kembali menarik napas demi mengontrol emosi. Tujuanku memintanya duduk di sini adalah karena aku ingin bicara dengannya.
"Jadi, kenapa kamu terlibat tawuran?" tanyaku.
Gadis itu menatapku sebentar lalu kembali mendengkus. "Solidaritas," katanya cuek.
Dia menarik ke depan rambutnya yang dikuncir satu belakang. Tanpa melihatku lagi, dia kemudian memain-mainkan rambut panjangnya itu. Aku menghela napas. Sulit sekali mengajaknya bicara.
"Meisya?"
Dia mendongak. "Apa?"
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sebentar lagi Mas Mahes pasti datang. Pembicaraan ini harus segela selesai jika tidak ingin mengundang kecurigaan suamiku itu. Sedari kemarin, aku telah merahasiakan surat panggilan dari sekolah Meisya. Tidak ingin dirinya tahu. Bahkan, entah kenapa Meisya justru memilih memberikan surat panggilan itu kepadaku, alih-alih pada ayahnya sendiri. Itulah yang membuatku merasa bahwa Meisya masih menganggapku ada meski dia belum menerimanya.
"Solidaritas yang seperti apa, Mei?"
Meisya berdecak. "Kenapa sih loe mau tahu aja? Nggak penting juga buat loe!"
Aku menggeser tempat dudukku agar lebih dekat dengannya. Lalu aku sedikit menunduk agar bisa menatap wajah anak itu lebih dekat.
"Penting, Mei. Sangat penting. Mama yang dipanggil sekolah. Mama yang diminta untuk menegurmu. Mama telah meminta agar sekolah tidak menskorsingmu. Jadi, mama harus tahu bahwa tindakan yang mama lakukan sudah tepat."
Meisya melihatku sebentar, lalu kembali asyik memainkan rambutnya. Aku bersabar diri menunggunya menjawab.
"Gue kebawa emosi gara-gara Billy."
Aku terperangah. Nama itu... bukankah dia pacara Meisya? "Billy... pacarmu?"
Meisya menoleh cepat. Melihatku serba salah. "Nggak.. loe nggak usah ikut campur! Apaan sih?"
Meisya kembali berdiri, aku mencekalnya kembali sebelum dia melangkah. Namun, kali ini justru aku yang terhempas. Sementara dia segera berlari ke kamar sambil berteriak, "Peduli apa loe sama gue! Nggak usah sok baik loe!"
Aku terduduk dengan gemetar. Dia kembali mencercaku. Menganggapku seolah tidak pernah berarti.
Tuhan, mengapa sesulit ini untuk mengendalikannya?
Padahal, baru saja dia hampir terbuka padaku. Billy. Sepertinya ada sesuatu antara Meisya dengan pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I HATE TO LOVE YOU
Ficção GeralKaina tak pernah menyangka bahwa pernikahannya dengan Mehesa justru menyeret ia pada kehidupan neraka. Meisya, anak sang suami tak pernah henti menciptakan kerusuhan yang membuatnya berang. "Heh, Kain Pel! Lo nggak laku ya, sampai harus menikah sam...