3E

67 10 3
                                    

Perjalanan malam menuju puncak sangat menguntungkanku. Aku tidak perlu beralasan untuk menutup mata. Bukankah akan dianggap wajar jika kita tertidur dalam perjalanan malam? Meskipun sebenarnya, bukan mengantuklah yang menjadi alasanku. Aku tidak suka melihat pemandangan di bawah sana. 

Beruntung, Meisya sama sekali tidak bertingkah dalam perjalanan ini. Dia menjadi anak yang sangat baik. Tindakannya sopan. Dia berbicara padaku tanpa intonasi yang tinggi seperti ketika tidak ada Mas Mahes.

Kami sampai di vila tepat jam sebelas malam. Mas Mahes mengajak kami untuk langsung beristirahat. Meisya telah menghambur menuju kamarnya. Sementara aku, masih terpaku di ruang tamu menatap sekeliling.

Kakiku mematung, mataku bergerak lincah memperhatikan pojok-pojok ruangan. Mencari hal-hal kecil yang mengganggu pemandangan dan membuatku tidak nyaman. Beberapa saat mataku beredar, aku lantas mengembuskan napas lega. Aman. Vila ini bersih. Pelan, kupijakkan kaki satu langkah dengan sedikit berjinjit, merasakan gesekan antara kulitku dengan lantai marmer yang terpasang. Tidak ada masalah. Kulanjutkan melangkah lagi dengan masih tetap berjinjit. Satu pijakan, dua pijakan....

"Na? Masih di sini?"

Aku hampir terjengkang. Mas Mahes kembali muncul setelah menurunkan barang-barang. Aku menggeragap. Tidak tahu harus menjawab apa selain tersenyum menunjukkan deretan gigiku yang rapi.

Mas Mahes lantas menghampiriku. Tangannya menggenggamku erat dan menuntunku menuju kamar. Aku mengikutinya dengan pandangan lurus. Tidak ingin menoleh ke mana-mana. Satu tujuanku. Tempat tidur.

Beberapa saat, aku kembali terpaku di depan pintu kamar. Menyelidiki setiap sudut kamar. Perasaan lega menyergap saat aku tidak menemukan hal yang menjijikkan. Aku lantas melanjutkan tidur dengan nyenak di atas tempat tidur yang nyaman.

Pagi menjelang. Tidak ada Bi Nana di sini yang akan menyiapkan sarapan. Maka, akulah yang harus turun ke dapur. Aku berjingkat menuju dapur. 

Tiga mangkuk bubur telah terhidang di meja. Aku menelan ludah. Bubur. Makanan lembek itu... bagaimana bisa orang menyukai bubur? Aku selalu heran, apa menariknya bubur? 

"Ma, ayo sini sarapan."

Suara Mas Mahes menyadarkanku untuk melanjutkan langkah menuju bapak dan anak itu. Aku masih duduk mematung memperhatikan semangkuk bubur di depanku. Tidak. Makanan benyek itu tidak akan bisa masuk mulutku.

Aku mengalihkan perhatian. Melihat Meisya di seberangku. Dia mengaduk bubur itu. Lalu memasukkan satu sendok ke dalam mulut. Aku memejamkan mata erat. Bayangan bentuk berwana putih yang basah dan lembik masuk ke kerongkongan. Aku tidak bisa menelan ludahku sendiri.

"Na? Kamu sakit?"

Kurasakan seluruh aliran darah dari kepalaku turun menyebar ke seluruh tubuh. 

"Aku suapin buburnya, ya."

Mas Mahes melayangkan satu sendok bubur ke hadapanku. Aku kembali bergidik. Bayangan benda lembek memasuki kerongkongan kembali mencuat di pikiranku. AKu menggeleng keras.

"Aku nggak mau bubur," ucapku seketika. Cepat, pelan, dengan wajah meringis.

Kulihat dua makhluk di deoanku itu melongo.

Meisya kembali mengangkat satu sendok buburnya. Dia memasukkan makanan itu ke mulutnya, lalu lidahnya menjulur ke luar mengusap bibir yang terkena lelehan berwarna putih dan kuning. "Enak, lho."

Perutku bergejolak. Aku ingin muntah sekarang juga. Kenapa harus ada makanan benyek itu di sini?

======

Hai... Adakah yang sudah menebak-nebak, Kaina ini kenapa siiihh?
Dia itu sebenarnya sayang nggak sih sama Meisya?
kok gitu sih sikapnya?
Ada yang samaan sama Kaina? Jijik melihat bubur?

Okeee... sekarang saatnya menuju ke part Meisya. Waktu dan tempat kami persilakan pada Kak swan_AF

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang