01|| Pertengkaran

39 26 24
                                    

Oliv🐣
online

Woy Let! Lo dimana? Kenapa jam segini belum dateng, huh?!

Lagi dirumah, bentar lagi otw

Cepetan gw tunggu! Jangan lama-lama

Iya-iya Oliv sayangku😘

Jijik anjir!

Makannya diem jangan ngeburu-buru in

Arletha langsung mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam tas ransel nya. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 06:30. Sebelum keluar dari kamarnya, Arletha langsung saja mengambil nafas sebanyak-banyaknya kemudian menghembuskan nya. Ia melakukan kegiatan itu berulang-ulang, ia juga tidak tahu mengapa dan kenapa ia melakukannya.

"Huft ..."

Arletha mulai melangkahkan kakinya menuruni satu persatu anak tangganya. Tepat di tangga terakhir, ia menghentikan langkahnya saat suara adiknya, Alita memanggilnya.

"Kakak nggak mau sarapan dulu?" Tanya Alita.

Arletha menoleh ke arah adiknya, lantas tersenyum. "Nggak. Ntar kakak makannya di kantin aja sama teman-teman kakak."

"Tap ..."

"DIAM KAMU ARLETHA! KAMU TAU? GARA-GARA KAMU, NAFSU MAKAN SAYA JADI HILANG!" Bentak bundanya tiba-tiba sambil menatap tajam ke arah Arletha.

Arletha yang ditatap seperti itupun langsung menundukkan kepalanya dan memilin jari-jari tangan nya.

"Ma-maaf Bun," cicit Arletha pelan.

"Andai kata maaf kamu itu bisa mengembalikkan adik dan ayah kamu," Afina (bunda Arletha dan Alita) memejamkan kedua matanya saat dadanya mulai terasa sesak.

"Apa bunda belum melupakan kejadian itu?" Tanya Arletha dengan mata yang mulai memanas menahan tangis.

"Belum!"

"Kenapa Bun?"

"Karena kamu! Karena kamu yang masih berada di dunia ini! Dan karena kamu juga adik dan ayah kamu meninggal, Arletha! Seharusnya kamu sadar bahwa kamu hanya ANAK PEMBAWA SIAL yang lahir di keluarga ini, Arletha!"

Deg ...

Sakit. Satu kata yang dapat mendefinisikan bagaimana keadaan hati Arletha sekarang. Apa kalian pernah, disebut anak pembawa sial oleh orang tua kandung kalian sendiri? Sakit bukan? Bahkan lebih sakit dari pada ditusuk oleh ribuan pisau.

Arletha memandang bunda nya dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk matanya. Sebenci itukah bundanya terhadap dirinya?

"Sudah berapa kali aku bilang, kalau kejadian itu bukan salah aku bunda! Itu semua takdir! TAKDIR Bun! Seharusnya bunda harus bisa mengikhlaskan kejadian itu," jelas Arletha sambil terisak.

"Tau apa kamu soal takdir, huh?! Dan apa kamu bilang? Ikhlaskan?" Afina terkekeh hambar. "Bagaimana caranya saya mengikhlaskan tentang kejadian itu kalau PEMBUNUHNYA saja masih berkeliaran!"

Arletha mengusap kasar air matanya yang terus mengalir kemudian terkekeh hambar sambil melihat manik mata Afina yang sedang menatap penuh kebencian terhadap nya.

"Mau menjelaskan pun, pasti bunda gak bakalan dengerin aku 'kan? Gak bakalan lah, karena Dimata bunda, aku hanya seorang anak PEMBAWA SIAL yang selalu membawa kesialan di keluarga ini. Bukan begitu, bunda?"

Afina yang sempat mendengar ucapan yang keluar dari mulut putrinya barusan pun sempat tertohok. Namun, ia langsung mengubah raut wajahnya menjadi raut wajah penuh kebencian.

"Bagus akhirnya kamu sadar diri juga Arletha!"

Arletha menatap kosong lantai yang berada di bawahnya.

"Bunda tau gak? Sebenarnya, hati aku itu sakit banget Bun, setiap dengerin ucapan yang keluar dari mulut bunda. Tapi, mau bagaimana lagi? Setiap aku ingin menjelaskan pun bunda tidak pernah peduli, bahkan untuk mendengarkan pun, bunda sepertinya enggan."

Arletha mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba mengalir tanpa seizinnya.

"Bunda tau gak? Saat aku melihat keluarga yang terlihat harmonis, disitu aku suka iri Bun. Aku iri karena mereka bisa merasakan harmonis nya keluarga, sedangkan aku tidak! Bahkan, hanya untuk bicara pun, bunda selalu menghindar. Kenapa Bun? Apa aku salah, kalau aku ingin merasakan kembali harmonisnya keluarga kita dulu? Aku ... Aku hanya ingin itu Bun, gak lebih, hiks ..."

Tiba-tiba Arletha terisak saat rasa sesak menghantam dadanya. Ia memukul-mukul dadanya agar rasa sesak itu berkurang. Tapi nihil, rasa sesak itu malah menjadi-jadi.

"Mana bunda yang selalu khawatir saat aku terluka? Mana bunda yang selalu marah ketika aku keluyuran? Mana bunda yang selalu meluk aku dengan penuh kasih sayang? Mana sikap bunda yang dulu? Jujur, aku rindu sama sikap bunda yang dulu. Tapi semua itu berubah ya, Bun? Andai aja kejadian itu nggak terjadi, mungkin keluarga kita masih harmonis kayak dulu ya, Bun? Dan bunda juga pasti gak bakalan benci sama Arletha. Tap ..."

Plakk ...

"CUKUP ARLETHA! SAYA TIDAK MAU MENDENGARKAN OMONGAN-OMONGAN YANG TIDAK ADA MANFAATNYA ITU DARI MULUT KAMU! SAMPAI KAPANPUN SAYA AKAN TETAP BENCI SAMA KAMU!" Bentak Afina kemudian melenggang pergi meninggalkan Arletha yang masih menangis sesenggukan.

Arletha terus saja menangis menyalurkan rasa sesak di hatinya. Ia menyentuh pipinya yang baru saja ditampar oleh Afina. Ia dapat merasakan panas yang tiba-tiba menjalar di pipi kanannya. Sampai sebuah tangan mungil mengelus punggungnya membuat tangisan Arletha sedikit mereda. Ia mendongak menatap sang pelaku, kemudian ia tersenyum.

"Kakak jangan benci ya sama bunda?" Tanya Alita sambil memeluk tubuh Arletha, kakaknya.

Arletha membalas pelukan Alita. "Iya sayang, kakak gak bakalan benci kok sama bunda. Kamu tenang aja ya."

* * *

TBC ...

Arletha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang