3-Perjanjian

35 5 0
                                    


Awan mendung menyelimuti langit pagi ini sangatlah tidak mendukung proses ngajar-mengajar. Ditambah lagi pelajaran sejarah melengkapi kebosanan Melia dan seisi kelas. Beberapa murid nampak menguap. Ada juga yang menggambar di buku teks sambil mendengarkan, ada pula yang menunduk supaya dianggap menyimak pelajaran, padahal matanya tertutup rapat. Bagaimana tidak jenuh,  jika Pak Rudi hanya membacakan sejarah berdasarkan buku teks yang tentu saja para murid bisa membacanya sendiri. 

Beberapa kali Melia melihat jam tangan berharap pelajaran sejarah segera berakhir. Tetapi, entah karena jam tangannya rusak atau bagaimana, jarum jam seakan bergerak lambat sekali. Lima menit menunggu rasanya seperti sudah satu jam.  Untuk membunuh waktu, Melia memutuskan bermain dengan bolpoinnya. Benda panjang itu dijepitkan di sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali memutar-mutarkan benda di tangannya. Sejenak pikirannya melayang membayangkan bagaimana jika Revan benar-benar menyebarkan foto aibnya jika ia tidak menuruti persyaratan cowok itu.

Pak Rudi kini mencatatkan beberapa poin penting dari kolonialisme Perancis di Indonesia. Bagi Melia, catatan seorang guru itu penting. Yah, berjaga-jaga kalau nanti catatan itu justru masuk dalam pertanyaan di ujian.

Sedang asyiknya ia menyalin catatan, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Untungnya gadis itu sudah menonaktifkan nada deringnya sehingga tidak terdengar. Diam-diam, Melia membuka ponselnya di bawah meja. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

Message:

Ke atap sekolah sekarang. Kalau nggak, akan gue sebar foto lo!

Tanpa ada nama pengirimnya pun, Melia sudah tahu dari siapa pesan ini. Siapa lagi kalau bukan Revan. Masih sekitar 25 menit lagi kelas Pak Rudi selesai. Segera ia mengetikkan balasan pada si pengirim pesan.

30 detik belum berlalu, sebuah pesan baru kembali masuk.

Message:

Sekarang!

Uh menyebalkan! Batin Melia berteriak.

Melia mengentak-entakkan kakinya gelisah. Alisnya mengerut. Nampaknya cowok itu tidak menerima penawaran untuk bertemu pada jam istirahat. Melia melihat kiri dan kanannya, lalu beralih memandang Pak Rudi yang semangat menulis inti dari kisah yang baru saja diceritakannya. Sebenarnya kasihan juga sih karena para muridnya tidak ada yang memperhatikan, tapi apa boleh buat. Pak Rudi memang harus mengganti metode mengajarnya agar lebih 'menghidupkan' kelas.

Ragu-ragu Melia mengangkat tangan. "Hm, Pak." Panggil Melia yang disambut dengan wajah ceria Pak Rudi.

"Ya, Lia. Mau tanya bagian apa?" tanyanya senang.

Melia jadi sedikit canggung. Tidak menyangka kalau Pak Rudi malah menganggapnya ingin bertanya. 

"Anu itu pak. Saya mau ijin ke toilet," ujar Melia berbohong. Jujur ia merasa bersalah dan tidak enak hati dengan Pak Rudi. Pak Rudi sepertinya nampak kecewa. Tetapi beliau tetap mempersilakan Melia keluar.

Segera Melia menuju atap tempat Revan menunggunya. Jika bukan karena memory card yang kini berada di tangan Revan, Melia enggan bertemu dengan cowok itu.

##

"Ada apa?" tanya Melia ketus pada Revan yang tengah berbaring di kursi sembari melihat langit. "Kamu kan tahu ini masih jam pelajaran...Aku belum pernah bolos sebelumnya."

Menyadari kehadiran gadis itu, Revan menoleh sebentar tanpa mengubah posisinya sedikit pun.

"Setidaknya gue nyelamatin lo dari pelajaran membosankan Pak Rudi," jawab Revan santai membuat Melia bertanya-tanya. Revan mengubah posisinya menjadi duduk sambil menarik otot-otot tangannya ke atas.

30 Days MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang