Surat untuk Bundaku

13 0 0
                                    

Bunda, aku masih dalam perjalanan dan juga belum menepi.

Betapa hebatnya ombak dunia ini menghantamku.

Berkali-kali. Berkali-kali aku diterjang, dihantam, dipecundangi oleh berbagai karang yang menyeretku ke dalam palung gelap.

Ay Bunda. . .

Aku masih ingat kau selalu ingin aku menjadi orang yang baik. Kau tak peduli tentang kemasyhuran, kekuasaan, dan juga profanitas lainnya. Kau hanya ingin aku menjadi orang yang selalu ada dalam jalan kebaikan dan berbahagia.

Tapi Bunda, aku meringis kesakitan dalam usahaku menjadi orang yang kau harapkan. Alangkah sulitnya menjadi orang baik di tengah bumi yang busuk ini, Bunda.

Aku sudah mengitari banyak tempat, berjumpa banyak orang, merasakan banyak pengalaman, tetapi alangkah sialnya aku mengetahui bahwa dunia ini tidak seperti yang pernah aku impikan sewaktu kecil.

Aku ingin jadi orang hebat, Bunda. Aku pun ingin menjadi orang yang selalu mematri jiwa dan pikiranku dalam kebaikan. Sungguh Bunda, selama ini aku selalu berusaha menjadi jujur, menghindari perilaku tercela, dan hanya mengharap kebaikan bagi orang banyak pula. Aku bahkan rela rencana dan impianku sirna hanya karena kedudukan yang banyak memberiku sakit. Aku tidak pernah mengharap imbalan apapun Bunda selain balasan Tuhan.

Aku tersungkur dan menangis, Bunda. Betapa aku lihat dunia ini berputar hanya bagi mereka sang orang-orang kaya, atau bagi mereka yang bapaknya penuh kuasa, atau bagi mereka yang hanya peduli pada dirinya saja. Betapa susahnya diriku melihat kejujuran di dunia ini, Bunda. Apakah memang orang-orang sudah sedarah dengan dusta? Apakah mereka lupa bahwasanya selalu ada orang lain yang akan mencicip kesialan karena ketidakjujuran kita? Apa mereka setamak itu sehingga lupa bahwasanya berbohong, curang dalam berdagang, curang dalam ujian, mengambil kesempatan dalam jabatan publik, mempermainkan agama, dan berpura-pura menjadi miskin agar mendapat bantuan pemerintah semuanya adalah dosa besar dan akan merugikan orang lain?

Ay Bunda, sekarang kapalku masih saja berlayar dengan oleng tiada hentinya. Aku mual dan muak dengan ketidakadilan di hidup ini. Aku ingin muntah dan mengeluarkan semua kesal kalutku yang sudah berlama aku tahan.

Sekarang hidupku susah, Bunda. Saat orang lain di sekitarku membanggakan rezeki-rezeki yang tidak halal, saat mereka makan enak dengan uang yang seharusnya bukan punya mereka, saat mereka menertawakanku yang selalu bekerja keras hanya untuk sesuap nasi, saat mereka mencibirku sebagai idealis bodoh yang tidak mau mengikuti mereka, aku hanya bisa tersenyum dan tertunduk. Aku tahu harusnya aku bangga atas menjadi orang yang selalu jujur dan tidak pernah mengambil rezeki orang lain. Namun, kalutnya hidupku ini membuatku iri kepada hebatnya keberuntungan hidup mereka.

Ay Bunda, aku harus bagaimana?

Bunda, maka aku meminta restumu untuk terus menjadi seperti ini. Aku tahu bahwa sekarang pun dunia tidak berputar untukku. Aku hanya orang biasa dan seterusnya pun mungkin hanya akan menjadi orang biasa. Aku meminta restumu untuk hidup dengan jalan terjal tak berpeta ini yang mungkin ke depan akan membuatmu juga sakit karena aku yang dirundung nasib. Tapi, tenanglah Bunda. Mungkin aku akan dipecundangi di dunia, tapi di hadapan-Nya kelak, setidaknya aku merasa menang karena tidak menjadi babi-babi busuk di bumi. Doakanlah aku ini bisa menjadi orang yang luar biasa di depan-Nya nanti.

Bundaku, biarkan aku hidup dalam impiku ini agar aku selalu yakin bahwa hidup hanya seperti mimpi. Singkat dan gampang terlupakan tujuannya.

Sekarang aku akan melanjutkan pelayaranku kembali. Doakan keselamatan anakmu ini, Bunda. . .

Catatan Putus AsaWhere stories live. Discover now