1800 Detik

52 7 2
                                    

"Perpisahan kita dihiasi lagu ini, masih ingat kan? Dan akhirnya lagu ini juga yang menjadi lagu pertemuan kita.." - Ricky

     Hari ke tiga ratus enam puluh lima. Tepat satu tahun janji itu ada. Musim gugur kini kembali. Dedaunan kuning kecokelatan berjatuhan dari ranting pohon. Angin-angin kecil berhembus menerpa tubuh Marsha yang kini duduk di atas rerumputan hijau berhiaskan dedaunan yang berjatuhan. Kulitnya tampak berkilau diterpa sinar matahari siang. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di dalam kedua lipatan tangan yang kini bertumpu di atas kedua lututnya.

     Sudah hampir dua jam Lala disana. Menunggu sesuatu yang tak pasti kedatangannya. Lala mengangkat kepalanya, kini pandangannya tertuju pada sebuah pohon muda yang tidak terlalu tinggi. Kini yang tersisa hanyalah beberapa helai daun di rantingnya yang rapuh. Di tengah batangnya, terdapat sebuah goresan kecil berukirkan dua buah nama dengan sebuah gambar hati yang diukir dengan sebilah pisau tajam.

     Lala tersenyum kaku, lalu pandangannya pun beralih pada langit biru berhiaskan matahari cerah. Awan-awan tebal bergerak mengelilinginya. Burung-burung kecil terbang beriringan menyusuri langit.

     Baju putih birunya kini terlihat kusam akibat terkena tanah. Ia tak peduli, ia melepaskan dasi biru yang membuatnya merasa seperti tercekik lalu melemparnya entah kemana. Pandangannya meredup, tatapannya kosong. Sejurus kemudian, ia meraih buku catatan kecil serta pulpen miliknya. Lalu, mulai merangkai sebuah kata pada selembar kertas yang ia robek dari buku catatan itu.

     Lala menghela nafas berat, ia membaca ulang tulisannya. Setelah itu, ia mengambil amplop berwarna biru tua yang ujungnya sudah dilubangi dan diberi tali. Ia memasukan selembar kertas itu ke dalam amplop. Lalu, ia beranjak dari duduknya dan melangkah ragu ke arah pohon. Puluhan amplop beragam warna menghiasi ranting-rantingnya yang hanya ditumbuhi beberapa helai daun. Lala pun kemudian mengikat amplop biru itu pada salah satu dahan yang kosong. Amplop-amplop kecil berwarna-warni itu berisikan harapannya. Harapan yang selalu sama.

"Aku harap kita dapat segera bertemu, Ricky. Di tempat ini kita berpisah, maka di tempat ini juga kita harus kembali bertemu..." gumamnya. Ia kembali menatap ke arah langit berwarna biru muda, berhiaskan gumpalan-gumpalan kapas putih.

     Lala kembali duduk bergeming. Rambut ikal nya dibiarkannya berkibar anggun diterpa angin. Sebentar lagi ia akan resmi lulus dan merubah statusnya menjadi seorang murid SMA. Baju putih birunya akan tergantikan oleh baju putih abu-abu yang akan menemaninya selama tiga tahun ke depan. Lala menghela nafas berat—lagi. Ia melirik ke arah jam tangan digital berwarna biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pukul 17.00 sore.

     Tiga puluh menit lagi, 1800 detik lagi. Adalah tepat waktu dimana ia berpisah dengan Ricky di tempat ini. Lala bersenandung kecil, menyanyikan lagu yang ia ciptakan bersama Ricjy dua tahun silam di tempat indah ini. Bukit belakang sekolah.

     Biasanya, dulu setiap pulang sekolah mereka akan pergi ke bukit belakang sekolah. Ricky akan membawa gitar kesayangannya, sedangkan Lala membawa biola putih susu miliknya. Ricky akan menyanyikan lagu-lagu favoritnya, lalu sebagai penutup Lala akan membawakan sebuah lagu klasik yang indah. Ia biasa memainkannya saat musim gugur. Memainkan biolanya dengan anggun, membiarkan angin-angin kecil menerpa tubuhnya, dengan latar dedaunan yang terbang menari-nari diterpa angin.

     Lala melirik ke arah tas berisikan biola kesayangannya. Tak seperti musim gugur sebelumnya, Lala merasa malas untuk memainkannya. Bahkan untuk sekedar menyentuhnya pun ada sesuatu yang membebani perasaannya.

     Setelah berfikir keras, Lala pun meraih tas itu lalu membukanya. Biola putih seputih susu itu kini menghasilkan simpul sederhana di bibir Marsha. Ia memosisikan biolanya pada tempat yang tepat, lalu mulai memainkannya dengan anggun. Sebuah lagu klasik yang menjadi favoritnya dengan Ricky. Lagu yang selalu membuat Ricky memintanya untuk terus memainkannya, mengulangnya, dan tak diperbolehkannya untuk berhenti.

     Mungkin, dengan cara ini Lala dapat menceritakan kisah hidupnya pada dunia. Menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Kilauan mutiara mulai muncul dari balik manik matanya. Ia memejamkan matanya sesaat.

"Permainanmu masih seperti dulu, ya..." Lala menghentikan permainannya. Ia menoleh, kedua matanya memicing menatap tajam ke arah pemuda berkulit cokelat di hadapannya. Topi serta poninya yang panjang membuat Lala sulit untuk mengenalinya. Hanya saja, suaranya terdengar familiar. Sejurus kemudian, pemuda itu membuka topinya dan membalas tatapan Marsha. Tatapannya teduh, masih sama seperti tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Lala mengalihkan pandangannya pada jam tangan miliknya, tepat pukul 17.30 sore. Ia tercekat. Pemuda itu benar-benar memenuhi janjinya.

"Lanjutkan permainanmu, kumohon?" pintanya. Lala hanya tersenyum kaku. Dengan ragu, ia pun mulai memainkan biolanya kembali. Melanjutkan permainannya yang sempat terhenti.

     Pemuda itu duduk di samping pohon tanpa daun yang kini dihiasi amplop berwarna-warni itu. Pandangannya terarah pada Lala. Indra pendengarannya mendengarkan dengan fokus alunan musik klasik yang dimainkan gadis itu. Akhirnya, gadis itu menutup penampilannya. Lalu membusungkan dadanya—seperti biasa saat ia selesai tampil di hadapan Ricky.

"Perpisahan kita dihiasi lagu ini, masih ingat kan? Dan akhirnya lagu ini juga yang menjadi lagu pertemuan kita..." ia bertepuk tangan, lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Lala yang masih bergeming.

"Aku merindukanmu..." Ricky menarik tubuh Lala dan mendekapnya erat-erat. Lala masih tetap bergeming. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Lidahnya terasa kelu.

"Bodoh! Kau selalu mengabaikan pesan-pesan dariku. Menolak panggilanku, tak pernah membalas suratku, dan juga email dariku!" Lala memukul pelan dada Ricky.

"Aku setiap hari selalu pergi ke tempat ini, untuk sekedar mengenang semuanya. Berusaha untuk menyembuhkan rasa rindu itu. Kukira kau sudah lupa padaku. Kukira kau sudah menemukan teman baru disana.." cerca Lala, meluapkan seluruh emosinya yang selalu ia tahan selama ini.

"Maaf," Ricky membasuh pucuk kepala Lala yang kini menunduk.

"Aku tahu aku salah, aku terlalu sibuk untuk memberimu kabar. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri. Namun, aku melakukannya agar kita dapat cepat kembali bersama. Aku mengikuti kelas percepatan agar dapat kembali dengan cepat dan melanjutkan SMA disini..." ungkapnya.

"Dan sekarang, aku adalah kakak kelasmu! Jadi kau tidak akan bisa memberiku julukan yang tidak sopan lagi!" tambahnya. Ia terkekeh. Lala kembali memukul pundak Ricky. Hal yang biasa dilakukannya tiap kali Ricky menggodanya.

"Dasar, sok tua..." sungutnya. Kini perhatian keduanya teralihkan pada pohon yang dipenuhi amplop berwarna-warni itu. Ricky menatapnya nanar.

"Apa itu?"

"Harapanku selama ini.. Mau lihat?" Ricky hanya mengangguk. Lala pun segera melepas ikatan satu persatu amplop itu. Lalu, kembali menghampiri Ricky yang hanya diam seribu bahasa seraya memandanginya.

"Buka saja..." Lala tersenyum, lalu mengajak Ricky untuk duduk di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rumput hijau. Dengan serius, serta dahi yang berkerut Ricky pun membuka satu-persatu amplop itu dan mengeluarkan isinya, lalu membacanya dalam diam.

"Semuanya sama..." gumam Ricky setelah menutup amplop terakhir yang baru selesai dibacanya.

"Aku harap kita dapat segera bertemu. Di tempat ini kita berpisah, maka di tempat ini juga kita harus kembali bertemu..." ujar keduanya bersamaan. Ricky tersenyum tipis, pandangannya masih terarah pada gadis manis di sampingnya.

"Aku menyukaimu..." ungkapnya. Lala menoleh, ia memicingkan matanya. Menatap lekat-lekat pada kedua manik mata Ricky yang membulat sempurna. Pemuda itu menyunggingkan senyumannya. Manis.

"Ak..Aku juga," sahut Lala gugup. Semburat merah kini menghias wajahnya. Ia pun segera mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah layaknya kepiting rebus.

"Terimakasih sudah mau menungguku selama ini, aku benar-benar menyayangimu..." Ricky merangkul Lala dengan tangan kirinya. Sementara pandangannya kini memandang ke arah langit berwarna jingga dengan matahari yang nyaris tenggelam di ufuk barat.

- The End -

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang