Malaikat tak bersayap

38 24 20
                                    

Aku duduk termangu disamping rak buku yang sudah lima bulan ini menemani hari hariku yang penuh haru dalam pesantren ini.

Aku mencoba memejamkan mata sejenak, kurasakan sunyinya hatiku bagai rumah kosong tak berpenghuni.

Aku masih memikirkan permasalahan hidupku yang kurasa tak pernah ada habisnya menghantui kehidupanku.
Entah itu masalah dengan teman atau hanya sekedar rasa lelahnya jiwa ragaku menghadapi masalah yang bertubi-tubi.

Kemarin baru saja aku berdebat dengan Teman akrabku yang ku fikir dia akan selalu mengerti dan mau menerima segala kurangku.

Hanya karena masalah sepele dia menghujatku mengolok olok diriku di media sosial nya. Aku tak tahu sebenarnya apa yang dia inginkan dari aku yang serba kekurangan ini. Aku yang hampir jatuh kedalam jurang kesedihan didorongnya dengan keras sehingga aku jatuh dalam kesedihan itu. Aku berfikir dialah yang akan selalu teman cerita yang sangat baik untukku

Ternyata aku salah besar malah ekspektasi ku berbanding terbalik dengan realitanya. Membuatku semakin terpuruk saja.

"Naya sini! Ngapain bengong disitu nanti kesambet loh."
Suara mbak Iis mengejutkanku. Mbak Iis adalah satu satunya teman yang sangat peduli dengan keadaanku. Meskipun dulu aku sempat membencinya karena terlalu banyak mengatur hidupku.

"Mbak Iis jangan mentang-mentang anak orang kaya bisa seenaknya mengatur hidup orang ya! Naya nggak  suka dengan cara mbak Iis memperlakukan orang sesuka hati Mbak Iis."

Aku teringat bagaimana dulu aku memaki maki Mbak Iis, sungguh sangatlah malu jika sekarang aku sangat membutuhkan bantuan mbak Iis.

Tanpa ku minta pun Mbak Iis selalu berusaha menolongku. Mbak Iis seperti Umi yang selalu berusaha menghangatkan ku dalam dinginnya kehidupan dunia. Mbak Iis selalu bisa mencairkan hatiku yang kadang keras seperti es.

"Iya mbak Naya kesitu sebentar ya."
Aku bangun dari dudukku bergegas menemui mbak Iis yang menungguku didepan pintu.

"Naya, mbak punya camilan nih ayo makan bareng mbak didepan aula."
Tanpa menunggu jawabanku mbak Iis menggandeng tangan ku menuju aula. Kami duduk didepannya sambil menikmati Camilan yang dibawa mbak Iis tadi sambil bercengkrama.

"Mbak lihat akhir-akhir ini Naya selalu murung, kenapa?Ada masalah ya?."
Aku tersentak mendengar ucapan mbak Iis

"Tidak kok mbak aku tak apa mbak Iis tidak usah khawatir."
Aku berusaha menutupi seluruh rasa sedihku dengan senyuman yang sangat terpaksa.
Sebenarnya aku benci senyum ini tapi, bagaimana lagi aku malu dengan Mbak Iis yang selalu ingin membantu segala masalah yang aku hadapi.

"Sayangnya kamu tidak pandai berbohong Naya. Jangan bohongi mbak mending kamu cerita sekarang ada apa?."

Kata kata mbak Iis seakan menghipnotis ku. Aku menceritakan semua keluh kesahku kepada Mbak Iis.
Tanpa kusadari perlahan air mata ku jatuh membasahi pipiku.

"Maafkan aku mbak, aku selalu menyakiti perasaan mbak Iis, aku malu mbak sama sampeyan."

"Tidak dek,mbak yang salah seharusnya mbak dulu tidak menasehati kamu didepan teman teman. Mbak tahu Naya pasti malu, makanya sekarang mbak mencoba mengerti Naya dengan cara mbak sendiri.
Naya jangan takut sendirian mbak Iis selalu siap menjadi teman Naya bercerita."
Mbak Iis memelukku dengan pelukan yang sangat nyaman sekali.

Senja sore itu menjadi saksi bahwa Allah selalu tahu perasaan hambaNya. Mungkin Allah mengambil Umi selamanya tapi Allah tak lupa menggantikannya dengan kehadiran mbak Iis yang selalu mengisi suramnya hatiku

Naya dan Orang TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang