Rapuh

20 9 3
                                    

*Lanjutan setelah perbincangan dengan mbak Iis*

Happy reading 🌻

Dengan penuh rasa canggung ku buka lembaran buku diary ku. Tak terasa telah banyak ku torehkan kenangan. Begitu banyak doa-doa yang selalu ku panjatkan. Salah satunya adalah Satrio

Andai saja hatiku dapat berbicara pastilah dia akan berteriak dan menangis ingin pergi dari tubuhku. Bagai ditikam ribuan pisau rasanya sakit sekali. Andai hatiku dapat bercerita pasti akan dia ceritakan betapa sangat berartinya Satrio dalam hidupku.

Lepasnya Satrio dari pelukanku membuatku kehilangan separuh bagian dari hidupku.

"Aku mesakne sampeyan,masa ya harus mikirin aku terus."

Aku ingat sekali kata kata itu. Kata yang sangat lembut namun menorehkan luka yang sangat dalam di hatiku. Kurasa baru kemarin saja aku mengenal Satrio yang manja dan manis itu.

"Nay,aku pengen kerja."
Chat dari Satrio sore itu membangunkan tidurku.

"Loh kenapa, lha sekolahnya sampeyan piye."
Aku membalas chatnya dengan mata yang masih setengah terpejam

"Aku tetep sekolah kok,tenang ae. Aku pengin apa apa itu gak usah minta ke orang tua. Aku juga pengin nanti pas jalan sama sampeyan kan aku bisa beliin apa yang sampeyan mau."
Seperti biasa kata kata Satrio yang ringan tapi meyakinkan selalu saja membuatku tak kuasa melarang perkataannya.

"Yowis terserah sampeyan. Aku nderek,sing penting Ora memberatkan sampeyan."

"Matur nuwun nay, wis gelem ngertiin aku. Pokoknya sing paling penting doane sampeyan. I love you."
Wanita mana yang tidak luluh dengan perkataan Satrio yang sangat manja ini?

Aku selalu mendukung segala usaha apapun itu asalkan baik untuk dirinya.
Kami bersama selama satu tahun. Selama itu aku merasakan hidupku selalu tenang. Aku yang biasanya menangis hanya gara gara masalah sepele tertular sifatnya si Satrio yang manja namun kuat itu.

Ketika aku sedang berada dalam keadaan dimana aku sangat mencintainya. Tanpa rasa bersalah dia pergi begitu saja. Meninggalkan luka yang sampai saat ini masih belum bisa tersembuhkan.

"Kenapa ya Allah, kenapa engkau biarkan Satrio pergi dengan dia yang belum tentu mencintainya seperti aku?. Aku takut,aku tak rela dia tersakiti hatinya. Kenapa ya Allah??."

Bodohnya aku yang menyiksa diriku sendiri hanya karena hadirnya rasa sakit dari Satrio.
Yahh bisa dibayangkan aku 3 hari tak makan dan minum pastilah akhirnya aku jatuh sakit.

Awalnya kupikir sakit ini adalah sakit perut biasa karena aku tak makan. Kemudian aku juga tak ingin berlarut larut dalam sendunya hatiku. Aku makan walaupun itu hanya 3 sendok.

Namun tetap saja aku masih merasakan rasa sakit dan bertambah parah.

"Ya Allah maafkan diriku yang selalu menyiksa diriku sendiri. Sembuhkanlah sakitku ini ya Allah."

Setiap hari tak henti hentinya aku mengucapkan kalimat itu selepas sholatku.
Entah sampai kapan aku menahan sakit ini. Hingga pada akhirnya aku tak tahan lagi aku mengadu pada ayah. Aku dibawa ke rumah sakit.

Aku terkejut mendengar pernyataan dokter. Aku sakit infeksi ginjal, hal ini membuat diriku semakin bertambah jatuh. Tapi,sekuat apapun aku lari dari kenyataan ini bisa saja aku semakin jatuh lagi bahkan aku akan kehilangan diriku sendiri.

"Brukkk"

Kujatuhkan buku diaryku ke lantai. Aku benci dengan diriku sendiri. Aku benci dengan sifatku yang tak pernah bisa melupakan apa yang seharusnya kulupakan.

Pesanku buat kalian yang sedang membaca ini.
"Kalian boleh sedih,kalian boleh kecewa tapi jangan menyiksa diri kalian sendiri. Jangan pernah lari dari kenyataan sekalipun itu sangat menyakitkan."

Thanks udah mau baca🌻

Naya dan Orang TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang