19. Leptospirosis

5.7K 1.2K 72
                                    

Semilir udara menyapu lembut helaian rambut milik perempuan berjepit rambut hijau itu. Tampak jari-jari tergerak bebas menyelipkan helaian yang mulai mengganggu penglihatan tadi ke belakang telinganya. Fokusnya tidak terganggu sedikit pun, masih sama tertuju pada lembaran kertas hasil cetakan dari beberapa materi kuliah dan juga soal-soal latihannya.

"Demam menggigil, nyeri betis, sakit kepala dan mual serta muntah. Hm ...," monolog perempuan tadi.

Lagi-lagi udara mengajak helaian rambutnya bermain. Tanpa peduli, kembali ia menyelipkan helaian tersebut dan tetap terpaku pada tulisan-tulisan di hadapannya.

"Tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu—" kalimatnya terputus dan berdecak sebal, "Aduh anginnya kenceng banget, sih!" kesalnya.

Angkasa yang hanya duduk diam bersandar pada tubuh pohon, sambil menyimak kegiatan perempuan yang duduk bersila menyampinginya, menghadap danau kampus.

"Tolong, ya, angin yang terhormat, aku itu mau belajar. Jangan bertiup kencang, dong, ketusuk mata nih rambut," omelnya.

Perempuan yang sudah dikenalnya selama tiga tahun lebih sedikit itu, sukses menarik atensi Angkasa lebih dalam lagi. Laki-laki yang terkenal susah bergaul dan juga pemarah —testimoni teman-teman satu angkatannya— menarik satu sudut bibirnya membentuk lengkungan senyum termanisnya.

"Laju napas dua puluh kali per menit, ikterus, nyeri tekan musculus gastrocnemius ... apa ya ...," gumam perempuan itu hampir tidak terdengar.

Angkasa mengambil sebuah karet rambut berwarna hitam di atas tas milik perempuan itu. Ia beranjak ke arah belakang tubuh perempuan itu, menatap punggung kecil yang tertutup helaian rambut panjang sang perempuan.

Tangan lebarnya mengambil helaian rambut di bagian sisi kiri dan menyatukannya dengan sisi satu lagi. Pertama-tama ia memasukkan rambut yang berada di genggamannya itu ke dalam lubang pada karet hitam tadi, sampai sesaat sebelum si perempuan menyadari perlakuannya.

"Kamu ngapain, Sa?" tanyanya terkejut dengan sedikit menoleh ke arah belakang.

Angkasa yang fokusnya berada pada rambut dan juga karet itu terpecah dan menatap perempuan di hadapannya. "Mau ikat rambut kamu, Nda," sahutnya.

Perempuan berambut panjang dengan asma Arawinda itu lantas tertawa kecil setelah mendapati wajah polos milik Angkasa. Sementara dirinya tertawa, laki-laki yang berada di balik punggungnya itu mengubah ekspresinya.

"Kenapa ketawa? Ada yang salah?" ujarnya polos.

"Emangnya kamu bisa ikat rambut aku?"

Angkasa bergeming mendengar kalimat tanya dari Arawinda. Laki-laki itu baru menyadari kalau dirinya bodoh akan hal itu. Ia belum, bahkan tidak pernah sekali pun mengikat rambut seseorang. Dengan polosnya Angkasa menggeleng pelan.

Arawinda lantas tertawa keras, sebab mendapati wajah Angkasa yang berekspresi sangat polos. Lihat saja matanya yang terbuka lebar seperti seekor kucing yang ingin meminta makan.

"Sok ngide banget kamu mau ikat rambut aku, sementara kamu sendiri enggak tahu caranya," timpal Arawinda.

Angkasa mengalihkan wajahnya dari pandangan Arawinda sebagai respons dari rasa malunya. Terkadang, orang-orang genius memang jarang memiliki celah kesalahan walau sekecil lubang semut, tetapi kali ini celahnya melebar dan sangat memalukan.

"Ya ... saya cuma mau bantu kamu, biar mata kamu enggak ketusuk rambut lagi," sahutnya pelan dengan wajah sedikit memerah.

Arawinda tahu kalau laki-laki yang masih dipunggunginya itu sedang tersipu malu dan berusaha menyembunyikannya. Segera Arawinda mengubah posisi duduknya yang semula membelakangi Angkasa, kini menjadi berhadapan dengan laki-laki yang berstatus sebagai pacarnya.

Visum et RepertumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang