Tidak ada hari mudah selepas kematian orangtuanya. Xiao Zhan terlihat seperti sampah di antara sampah yang menggunung di kamarnya. Pakaian kotor, sisa kudapan, bungkus snack dan gelas kosong bekas kopi. Rambutnya tak jauh beda dengan kamar dan kehidupannya. Yang ada di kepala adalah kutu, ketombe dan cerita yang tumpang-tindih hingga kadang membuatnya ling lung.
Pagi ini Xiao Zhan mendapat tiga e-mail. Desahan panjang mengawali aktivitasnya, keluar dari kandang yang ia sebut sebagai kamar kemudian meraih hoodie tebal, dia sempat memakan roti panggang yang ditinggalkan adiknya sebelum mengenakan masker.
Xiao Zhan tidak ingin susah payah cuci muka atau menyisir rambut, pikirnya dia hanya akan keluar sebentar saja untuk mengambil berkas yang dikatakan dalam e-mail yang diterimanya pagi tadi. Sebuah penolakan dari penerbit, padahal mereka mengatakan akan memikirkannya, namun akhirnya ditolak kembali. Xiao Zhan harus mengambil naskahnya.
Dalam perjalanan beberapa kali dia melihat teman sekolahnya dulu berjalan di antara pejalan kaki, mengenakan pakaian bagus, dengan tanda pengenal menggantung di leher. Ada juga yang berpasangan saling bercumbu pandang, membuatnya iri saja. Sekali lagi Xiao Zhan menarik napas panjang.
Lelaki pengangguran berusia tiga puluh tahun. Jika dia tidak menggunakan masker kemudian ditemukan oleh teman-temannya, dia hanya akan berakhir mendapat tekanan mental. Bertanya tentang karer, asmara, dan kehidupan. Lagiah kotor menjengkelkan yang bisa membuatnya naik pitam.
Xiao Zhan menghela, menatap naskahnya. Editor yang memegang naskah Xiao Zhan mengatakan bahwa ceritanya masih kurang membumi, terlalu menghayal dan tidak akan laku di pasaran. Bagus jika hanya dia yang membaca. Cih.
Kertas tebal itu berada di keranjang sepedanya, bersama makian dan rasa kecewa. Xiao Zhan ingin menghajar seseorang saat ini. Entah bagaimana tiba-tiba dia merasa kesal pada orang yang bahkan tidak ia kenal.
Lelaki itu terlihat tampan, rambut rapi dan senyum menawan. Bertutur ramah melayani pengunjung di sebuah cafe. Xiao Zhan tanpa alasan berhenti di sana. Melihat semua itu dari balik kaca besar. Perasaan di dadanya seperti diremas. Marah. Seingat Xiao Zhan lelaki itu seperti iblis ketika menghajar preman, bertolak belakang dengan kepribadian yang ia lihat saat ini. Xiao Zhan semakin muak dibuatnya.
Lelaki itu menyadari keberadaan Xiao Zhan yang terus memandanginya. Dia berjalan keluar menghampiri Xiao Zhan kemudian tersenyum, yang entah bagaimana di mata Xiao Zhan itu adalah sebuah seringai, "Mau minta tanda tangan adik manis?"
"Adik? Kau tidak tahu berapa usiaku?" Xiao Zhan melepas maskernya, membuat lelaki itu mendesah kesal. "Kau?"
Xiao Zhan menyandarkan sepedanya, dia berjalan mendekat tanpa ba bi bu langsung menendang pemuda bername Wang Yibo.
Yibo tidak mengerti apa yang dia perbuat sampai dihajar seperti itu, padahal seingatnya dia menyelamatkan pemuda itu dari kerumunan preman yang ingin menghajarnya tempo hari. Namun sekarang apa yang dia dapat? Sebuah umpatan?
"Bajingan!!!!" Xiao Zhan melayangkan tinju, menjadikan dirinya sebagai tontonan. Semua orang di cafe terponggoh-ponggoh keluar untuk melihat gulat berat sebelah yang hanya dilakukan oleh Xiao Zhan seorang, sementara Wang Yibo hanya berusaha menghindar tanpa berniat membalas pukulan dari Xiao Zhan.
"Apa kita saling mengenal? Apa kau punya masalah denganku? Kenapa kau menyerangku? Dasar sinting!!!" Wang Yibo berada di puncak emosinya, dia meraih tangan Xiao Zhan menguncinya namun pemuda yang lebih kecil darinya itu masih menendangi.
"Kau sudah membunuh keluargaku! Bajingan, kau biadab. Anjing!!" Xiao Zhan berteriak sekeras-kerasnya, mengumpat, memaki, mengutuk lalu meludah. Persis seperti orang gila.
Xiao Qing berada tak jauh dari sana, penasaran dengan orang-orang yang berkumpul melihat sesuatu yang tampak seru. Gadis kecil itu berwajah merah, malu sekaligus marah. Cepat-cepat Xiao Qing menarik kakaknya setelah mendengar apa yang dia ucapkan. Benar-benar liar, Xiao Qing harus menunduk untuk menyembunyikan wajahnya lantaran ada banyak kamera ponsel yang mengarah pada mereka. Merekam kejadian panas tersebut.
Xiao Zhan meronta, masih memaki Wang Yibo dengan segala umpatan yang dia ketahui.
"Gege! Ada temanku di sini apa kau tidak malu? Tidak, maksudku jangan membuatku malu!"
Ditatap kesal sambil menangis seperti itu membuat Xiao Zhan bungkam, dia kembali memakai maskernya. "Tapi dia sudah.."
"Itu hanya mimpi! Sudah cukup dengan kegilaan ini, kau bahkan tidak tahu siapa namanya, kan?—" ucapannya itu terputus lantaran melihat sesuatu di sepeda Xiao Zhan, sebuah naskah. Pasti kakaknya itu ditolak penerbit lagi. "Cari pekerjaan sana! mengejar mimpi juga ada batasannya. Memakai alasan konyol hanya untuk meluapkan kesedihan karena kembali ditolak. Gege sudah cukup tua untuk melakukan itu. Aku malu, tahu?!" Xiao Qing berlari sekencang-kencangnya setelah mengatakan hal itu pada Xiao Zhan.
Sekarang semua mulut berbisik mengintimidasi Xiao Zhan, menatapnya aneh, seperti berada di sebuah pusaran jarum jam mereka memakinya dalam diam dengan tatapan dan bisikan yang tak dapat Xiao Zhan pahami. Mereka berjalan menjauh menjadikannya sampah menjijikan, dan menyisakan satu orang yang memiliki tatapan sama seperti lainnya.
"Kau perlu ke rumah sakit." Pemuda bernama Wang Yibo itu memberinya kata yang sangat menusuk, melebihi pedang.
Harusnya perasaannya masih normal, emosinya masih stabil. Berjalan seperti pagi-pagi sebelumnya, meski sudah ditolak berapa kali pun tidak akan kesal. Tidak akan segila ini, amarah itu muncul tiba-tiba untuk sosok yang sedang menertawakannya.
"Brengsek."
[30/10/2020]