blur.

11 1 0
                                    

Saat Sangyeon membuka matanya, hal yang paling utama dan terutama dilakukan adalah mencari sosok Haseul. Pemuda itu bahkan tak peduli walau ada luka di kepala yang membuat pening dan ada batu yang menumpuk diatas badannya. Dia ingat betul, sebelum tembok di sebelahnya runtuh, Haseul masih bersama dengannya. Dia terpejat kaget dan segera menoleh ketika kehadiran itu tidak ditemukannya. Alih-alih menemukan gadis Cho, justru di hadapannya nampak seorang werewolf tengah berdiri dan siap menerjang.

Sangyeon yang masih setengah sadar itu hanya bisa bergerak mundur, tangannya meraba keberadaan tongkat. He bared his teeth as he came closer to him. Yang mana membuat Sangyeon bergidik ngeri melihatnya. Begitu tangannya sukses menggapai tongkat sihirnya, Sangyeon segera berdiri dan berlari menjauh. Di belakangnya sosok werewolf itu pun, ikut mengejar. Stamina yang jauh berbeda dan kecepatan yang tak setara dengan manusia membuat jarak yang terbentuk makin pendek.

Makin pendek, dan semakin pendek,

—sampai punggungnya hanya berada dalam rentang tangan sang werewolf. Selama ini, dia hanya mengujar depulso tanpa arahan yang jelas, berharap itu bisa menghantam tepat sasaran dan membuatnya diam. Sekon berikutnya, dia sempat tercakar. Bukan main sakitnya, Sangyeon bisa merasakan ada darah yang keluar dari luka yang terbentuk. Dia mengaduh, langkahnya tertatih.

"Immobulus!"

Satu rapalan mantra dan akhirnya sosok itu tumbang. Tumbang dalam arti, dibuat tak bergerak. Siapapun penyelamatnya, Sangyeon akan berterima kasih padamu kemudian. Punggung dan lukanya terasa panas dan menyita perhatian. "Sangyeon, hei! Hei!" Suara Seungyoun yang memanggilnya seakan menggema. "C'mon man, you don't wanna die like this." Pemuda itu membantunya berdiri dan melingkarkan lengannya di bahu. Aneh bukan? Setelah berbulan-bulan tak saling sapa, mereka justru begini sekarang.

"Y-youn."

Panggilannya itu lemah. Sangyeon tak yakin yang dipanggil mendengar. Lagipula mereka harus bergerak cepat kalau tidak mau werewolf yang dibekukan Seungyoun itu kembali menyerang. Ah, nasibnya setelah ini pun, Sangyeon tak tau. Apakah luka di punggungnya bisa sembuh, atau, dia justru menjadi kaum berbulu itu, ya?

"Did you see her? Haddeul? Aku tak bisa menemukannya dimanapun!"

Sangyeon tercekat. Ia tak mampu lagi membahas tentang ini. Seungyoun psti membunuhnya jika tau.

Ia memilih diam, bahkan, menggelengkan kepala.

-

Adalah keajaiban jika mereka berdua bisa selamat melewati pertempuran mantra sepanjang jalan.

Seungyoun memang seorang perapal handal. Tak diragukan lagi. Seorang Cho selalu serba bisa, mereka pantas mendapatkan semua puji dan perhatian. Bahkan, pemuda itu melindungi dua orang sekaligus. Sangyeon, dan juga Minseo—si seeker Ravenclaw yang terluka cukup parah dan kehilangan tongkatnya.

Ia tau apa yang menyebabkan Seungyoun se-protektif itu sekarang.

Haseul..., gadis itu bukan pure-blood seperti keluarga Cho yang lain. Almarhum ibunya yang telah meninggal adalah seorang muggle, dan yang mengetahui tentang hal ini hanya sedikit. Mungkin, itu pula alasan mengapa dia justru berakhir di Hufflepuff. Bukan seperti Cho yang lain.

Ia juga tau, apa yang menyebabkan Seungyoun menjadi segila ini.

Bahkan, berada di area perang sengit begini pemuda itu tetap mampu merapal banyak mantra dan menjadi seorang yang dapat diandalkan. Alasannya adalah satu, Haseul. Dia mencari sosok sang adik sepupu yang menghilang dari peredaran seakan lenyap ditelan bumi.

"Kita berhenti dulu, Youn. Ini terlalu beresiko!"

"Haseul, pernah mengalami yang seperti ini dulu! Kita perlu mencarinya!" Dia bahkan meninggikan suaranya begitu ditanya Minseo.

Agaknya akal sehat Seungyoun langsung lenyap begitu melihat Wooseok datang sambil membopong Haseul.

"Kutemukan dia...," suara Wooseok tercekat. "Tapi—" Kalimatnya tak sampai selesai.

Pemuda Cho itu merebutnya dari sang kawan, memastikan bahwa sang adik baik-baik saja. "Katakan padaku dimana kau menemukannya, dan siapa yang membuatnya seperti ini!" Sangyeon hanya bisa berdiri kaku melihat semua yang terjadi. Keadaan Haseul saat itu sama mengerikannya dengan mimpi buruk, bahkan, lebih mengerikan dari Dementor.

Dari bagaimana tiap nada Seungyoun yang meninggi, dan bagaimana badannya bergetar, Sangyeon jadi ikut merinding.

"Yang terpenting dia masih selamat, Youn."

"Omong kosong!"

Gila memang akan bagaimana Seungyoun setelahnya. Dia bahkan tak peduli dengan ucapan Prof. McGonagall. Bahkan, Madam Sprout yang selalu memuja anak itu pun angkat tangan. Seungyoun menghabisi hampir setara dengan kemampuan para Auror yang datang memberikan bantuan. Hampir.

Benar memang ada rumor yang beredar.

Keluarga Cho itu nekat.

Hospital Wing pagi itu beralih tempat ke Great Hall.

Ada banyak para siswa yang terluka.  Terkapar di tempat seadanya, sementara yang merasa sehat berdiri di pojok. Jangan. Jangan bertanya atau mulai menghitung berapa banyak pula siswa yang meninggal setelah penyerangan kemarin. Haseul tau jumlahnya pasti banyak melihat wajah-wajah sembab ini.

"Haddeul!"

Suara Seungyoun membuatnya menoleh. Langkah kakinya cepat-cepat meninggalkan sosok yang dikenalnya bernama Yohan dan Minseo. Dalam posisi setengah duduknya itu, dia direngkuh kuat-kuat. Wajahnya tenggelam dalam jubah si pemuda yang sudah bercampur dengan debu dan keringat. Gadis Cho itu terbatuk karenanya, "Youn, kau bisa membun—"

"Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit? Kupanggilkam Madam Pom—"

"Cho Seungyoun, aku tidak apa-apa."

Pelukan itu pun dilepas. Seungyoun mengamati setiap sisi badannya, dari kaki, tangan, badan lalu kepala yang terakhir. "Kau mau minum air? Akan kuambilkan. Tunggu sebentar, jangan kemana-mana!" Dan sosok itu sekali lagi menghilang ditengah kerumunan. Mencari house elf atau Madam Pomfrey, mungkin.

Baru saja badannya mau diletakkan sekali lagi, ada satu suara lagi yang memanggilnya.

"Hei."

"Hai."

"Kau..., bagaimana?"

Haseul tersenyum tipis. Sekujur badannya memang penuh luka karena kejadian kemarin. Dia tak bisa mengelak, masih beruntung nyawanya tidak langsung diambil dengan kutukan tak termaafkan. Beruntung pula, ada Wooseok dan Vivian yang tau-tau muncul untuk menolongnya.

"Baik. Kau sendiri?"

"Yah..., begitulah. Akan meninggalkan bekas, tapi, tidak apalah. Urusan belakang."

Haseul menggeser posisinya, mengijinkan pemuda Gryffindor itu untuk duduk di sebelahnya. Hei, dia sudah berjanji akan memaafkannya, bukan? "Maaf." Sangyeon berujar. "Bukan salahmu." Dia tau arti dibalik ucapan itu. Karena kemarin, Sangyeon tak bisa melindunginya. Bukan salahnya, semua salah Haseul yang terlalu lemah dan salah marganya ini.

"Jangan beritau Seungyoun."

Keduanya berujar bersamaan, lalu tertawa. Senyap adalah hal ketiga yang terjadi.

"Benar kata Seungyoun. Aku masih belum pantas melindungimu. Kau lebih aman dekat dengannya, percayalah."

Haseul tertawa mendengar ucapan itu. "Kau habis diapakan lagi olehnya? Saraf otakmu dirusak atau bagaimana sampai memuji Seungyoun begini?"

Sayang, pembicaraan itu harus berhenti di sana.

Sosok Byungchan yang masih menangis tergeru-geru dan Wooseok yang datang kepadanya membuat Haseul membujur kaku. "Maafkan aku. Aku hanya bisa menyelamatkan satu dari kalian. Vivian, dia—" pria yang disebut-sebut sebagai Pangeran Berlidah tajam itu tercekat, tak mampu meneruskan kalimatnya sendiri.

"Maafkan aku, Haseul. Aku..., berusaha."

Haseul paham artinya.

Ia menangis sejadi-jadinya dalam hitungan sekon setelahnyaxxz.

Vivian, kawan terbaiknya itu sudah tak ada lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

phantasmagoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang