#8#

9 2 0
                                    

Kuy vote dan komen:)

______________________________________
Kadang ada kata tidak yang tersembunyi dalam kalimat baik-baik saja~

***

Di hadapanku berdiri dua orang asing. Mereka menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Sekarang aku berada di bagian belakang rumah sakit ini. Saat tadi salah satu di antara mereka menyekapku dan membawaku kemari.
 
“Kenapa kalian membawaku kemari? Apa mau kalian?” teriakku.
 
Mereka tak menjawab, hanya saling pandang.
 
“Jawab!”
 
Aku di buat geram dengan tingkah mereka. Kenapa mereka membekapku dan membawaku kemari. Aku bahkan tak mengenal mereka. Ralat, mungkin aku mengenal salah satu diantara mereka, yahh dia wanita yang ku temui beberapa menit lalu. Yang menangis bersimpuh agar suaminya di bebaskan. Satunya lagi pria berhoodie yang juga ku liat tadi. Mereka bersekongkol untuk ini? Tapi untuk apa?
 
“Apa mau kalian?!?” tanyaku lagi masih dengan berteriak.
 
Tiba-tiba ibu itu bersimpuh di hadapanku lalu menangis.
 
“Tolong, tolong saya. Suami saya tidak bersalah,” ucapnya di iringi suara tangisan.
 
Aku masih terperangah.
 
“Tolong, bantu saya. Saya punya saksi kalau suami saya tidak bersalah.”
 
“Bu, tolong berdiri,” pintaku karena tak enak melihat dia bersimpuh seperti itu.
 
“Saya punya saksi, tolong bantu saya, Mba. Cuma Mba yang bisa membantu saya.”
 
Aku? Bagiamana aku membantunya? Aku bukanlah seorang pengacara atau hakim.
 
“Maaf bu saya tidak bisa, biar pengadilan yang mengurus ini.”
 
“Tolong Mba, saya mohon.”
 
Iya masih bersimpuh di hadapanku, aku merasa semakin tak enak.
 
“Dia benar, suaminya tidak bersalah.”
 
Itu suara dari laki-laki berhoodie tadi. Ia mulai berjalan menghampiriku lalu membuka tudung hoodienya. Dia seorang laki-laki muda, mungkin masih SMA.
 
“Perkenalkan, saya Gibran. Saya pacar dari Ghina.”
 
“Pa ... pacar?”
 
Aku hanya heran, dia mengaku sebagai pacar Ghina  tapi kenapa saat aku menemuinya tadi di depan kamar inap, ia hanya berdiri di depan pintu?
 
“Iya, dan saya juga saksi dari ibu ini,” tegasnya.
 
“Maksud kamu apa? Saya tidak paham dengan semua ini. Saya tidak paham kenapa kalian berdua bersekongkol untul menyeret saya ke tempat ini!”
 
“Saya juga ada di tempat kejadian saat Ghina di tabrak oleh mobil yang di kemudiakan oleh suami ibu ini. Ohh ralat, saat Ghina menabrakkan diri maksud saya.”
 
“Menabrakkan diri?”
 
“Iya, Ghina sengaja menabrakkan diri.”
 
Aku bingung, harus kah aku percaya?
 
“Yang dia katakan benar Mba, suami saya tidak bersalah.”
 
Aku masih diam, mencoba mencerna semua ini. Tapi ku lihat dari mata mereka, apa pun yang mereka katakan bukanlah kebohongan. Hati kecilku juga berkata demikian.
 
“Lalu ... lalu kenapa kalian memneritahukan semua ini kepada saya?”
 
“Karena Mba saksi kunci di persidangan nanti. Mba yang ada di mobil bersama suami saya malam itu. Kesaksian Mba sangat penting,” kata ibu itu.
 
“Saya juga meminta tolong, Mba. Tolong bantu saya. Tolong bantu saya bertemu lagi dengan Ghina.” Laki-laki itu juga ikut bersimpuh di hadapanku. Matanya menyorot penuh harap.
 
“Tolong berdiri, saya merasa tidak enak dengan kalian bersimpuh. Berdirilah, dan jelaskan dengan rinci pada saya.”
 
Gibran lalu berdiri di ikuti ibu itu. Aku mengajak mereka untuk duduk di bangku yang tak jauh dari tempat kami berada.
 
“Gibran, kamu bilang ada di tempat kejadian waktu itu. Tapi kenapa kamu tidak menolang Ghina. Saya juga tidak melihat siapa pun waktu itu?” tanyaku.
 
“Malam itu....”
 
Gibran mulai bercerita kejadian malam itu. Bagaimana pertemuannya dengan Ghina sampai saat Ghina menabrakkan diri ke mobil yang aku tumpangi. Kami bercerita cukup lama dan aku mulai yakin bahwa Ghina memang benar sengaja menabrakkan diri.
 
“Aku tidak tau harus bagaimana? Aku ingin membela kalian tapi pengadilan butuh bukti bukan hanya sekadar omongan,” jelasku.
 
“Tolong Mba, tolong saya dan keluarga saya,” ibu itu memohon lagi.
 
“Hanya ada satu cara Mba,” ucap Gibran.
 
“Apa?”
 
“Pertemukan saya dan Ghina terlebih dahulu. Saya harus menemuinya sebelum sidang nanti.”
 
Aku berpikir keras. Bagaimana caranya?
 
“Baiklah, akan aku usahakan,” pasrahku.
 
Aku membesarkan hati untuk meyakinkan diri. Semua pasti baik-baik saja. Aku pasti bisa menghadapi semua ini.
 
Setelah perbincangan selesai, ibu itu dan Gibran pamit. Sebelum pergi mereka meminta maaf karena sudah membekapku. Aku tak masalah dengan itu. Kami juga saling bertukar nomor telepon.
 
Selepas mereka pergi aku melirik jam. Astaga, ini sudah jam dua lewat lima belas menit. Aku sudah terlambat ke kantor.
 
Aku segera berbalik arah menuju area parkir yang ada di bagian barat rumah sakit. Tapi sebelum itu aku di kejutkan dengan sesosok mahluk yang berdiri di hadapanku sekarang. Sejak kapan dia di sana?
 
“Dokter Azam?” cicitku.
 
Ia hanya memandangku dengan ekspresi datar.
 
“Dokter Azam sejak kapan di sini?”
 
“Baru saja. Kenapa?”
 
“Hmm ... tak apa. Kenapa Dokter ada di sini?”
 
“Saya mau menjenguk orang itu.”
 
“Orang itu?”
 
“Iya, korban penabrakan itu.”
 
“Ohh.”
 
Eh tunggu dulu, jika dia ingin menjenguk Ghina, kenapa ia malah nyasar di sini? Apa dia berbohong? Atau malah dia sudah melihat semua kejadian tadi?
 
“Saya duluan. Assalamu’alaikum,” pamitnya kemudian.
 
“Ehh ... wa ... waalaikumussalam.”
 
“Oh ya saya lupa,” ucapnya kemudian berbalik menghadapku lagi.
 
“Tolong periksa pesanmu.”
 
“Hah?”
 
“Semua akan baik-baik saja, dan .... berhati-hatilah.”
 
Setelah mengucapkan itu ia berbalik dan melamjutkan langkahnya.
 
Dengan segera aku mengecek pesan yang masuk di hpku.
 
Beberapa pesan dari Umi, lalu jihad dan ....
 
Ehh ada satu lagi, sebuah nomor baru. Isi pesan itu adalah undangan agar aku menghadiri persidangan untuk kasus Ghina. Mungkin ini yang di maksud Dokter Azam tadi.
 
Aku melihat tanggal persidangan. Sepekan lagi dari sekarang.
 
Sepekan?
 
Bukankah itu juga tanggal pernikahan Dafa?
 
Aku terdiam sejenak. Mengingat itu membuatku sesak kembali. Ikhlas teenyata tak semudah itu....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setitik Rasa dari AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang