BAB 2

239 45 4
                                    

Tidak semua orang bisa menerima kata kasar darimu, termasuk dirimu sendiri.

-o0o-

Cahaya rembulan, serta jutaan bintang menemani dirinya yang tengah termenung dalam kesunyian. Angin malam berhembus menerpa wajahnya, Ingin sekali dirinya menjadi seperti mentari, yang memiliki waktu pasti ketika dirinya pergi akan terjamin kembali. Keinginan seorang insan sangatlah beragam, seperti Rean saat ini. Jika lah kesempatan datang dan mengizinkannya terbebas dari penyakitnya, mungkin hidupnya akan sempurna, karena sebuah kebahagiaan telah tergenggam dihidupnya.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan pintu itu merambat masuk tepat di telinga Rean. Rean hanya menoleh perlahan, dirinya sudah tau dan sudah mengenal siapa yang akan mengetuk pintu setiap malam.

"Masuk Ma!" ujar Rean dengan setengah berteriak.

Seorang wanita yang berkepala empat mulai masuk dan berjalan hendak mendekati sang putra tunggalnya. Dirinya membawa secangkir teh, sepiring roti dengan selai coklat kesukaan anaknya, serta beberapa pil kecil yang harus Rean konsumsi.

Rean masih dalam posisi yang sama. Matanya terpejam namun mengarah ke sang rembulan. Dirinya masih betah untuk menikmati semilir angin malam yang terasa dingin menusuk kulitnya.

"Jangan lama-lama di balkon ya, nanti masuk angin. Mama mau ke ruang kerja dulu," ujar Novita sambil mengusap bahu Rean.

Rean mengangguk kecil tanpa membuka matanya. Sedangkan Novita mulai berjalan meninggalkan balkon sekaligus kamar Rean. Mendengar kenop yang sudah kembali tertutup, mata Rean perlahan terbuka. "Hidup hanya untuk menjadi sosok yang tidak berguna untuk membebani orang lain? Cabut saja nyawaku, Tuhan," ujar Rean.

Rean mengusap kasar wajahnya. Dirinya menoleh kebelakang. Rean duduk di kursi yang memang sudah tersedia di balkonnya. Rean menarik sebuah buku bersampul abu-abu. Ada banyak sekali hal yang ingin Rean miliki. Jika Rean bisa meraih segalanya dalam bentuk materi namun tidak untuk pengalaman ataupun perasaan.

Dirinya mulai membuka buku itu, lembar demi lembar. Tangannya meraih sebuah bolpoin berwarna hitam yang selalu bersama buku tersebut. Rean mulai dari lembar kosong, sebuah coretan huruf mulai menghiasi kertas putih itu.

Dear diary,

Entah kapan segalanya akan berakhir. Aku menyayangi Mama sekaligus sang pencipta. Namun, bolehkah aku meminta imbalan karena telah berhasil kuat sejauh ini? Sepertinya tidak, bahkan aku tidak ingin segalanya terlihat samar, aku ingin segalanya terlihat nyata.

Jika lah sebuah kesempatan hendak membawaku untuk menepati janjiku. Aku memiliki banyak sekali permintaan. Beribu kali ku tulis permintaan disini, apakah kamu bosan tentang coretan tanganku? Maaf tapi keinginanku masih sama. Keinginan yang tak akan pernah bisa terwujud, aku yakin itu.

Aku ingin terbang untuk mencapai apapun yang hendak ku raih. Aku ingin berlari, untuk mengejar apapun yang tidak pernah kulihat. Namun untuk sekarang dan sejauh ini, aku tidak pernah mendapat apa yang aku mau. Ya, keinginan terakhirku adalah, semesta mencoret namaku dari daftar makhluknya. Aku hanya ingin mati.

Terima kasih telah mendengar segala keluh kesahku. Malam ini, langit, bulan, serta bintang telah menjadi saksi bisu tentang diriku yang selalu berangan bahwa aku bisa keluar dari bebanku.

Rean menutup buku itu dan hendak masuk kedalam kamarnya. Namun sebelumnya, dirinya memakan roti serta teh yang sudah di persiapkan Novita. Sedangkan untuk kapsul serta pil warna-warni? Rean membuangnya.

Dirinya masuk kedalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya, memposisikan gulingnya di sebelah kanannya, serta menenggelamkan tubuhnya di selimut coklat miliknya. Perlahan matanya mulai terpejam. Sayup-sayup dia bergumam, "Apakah di hari esok takdirku akan sama? Aku lelah,"

Starlight (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang